Siapa sangka salah satu pemimpin paling berpengaruh di dunia perbankan justru jadi sosok yang paling vokal mengkritik kripto? Jamie Dimon, CEO JPMorgan Chase, dikenal tajam dalam menyoroti Bitcoin dan aset digital lainnya. Tapi di balik kritiknya, kamu akan menemukan ironi yang menarik: perusahaan yang ia pimpin justru terus terlibat dalam inovasi blockchain. Posisinya sebagai pimpinan bank terbesar di Amerika Serikat membuatnya menjadi figur yang selalu didengarkan, baik oleh pasar maupun regulator. Yuk, kenali lebih dalam siapa sebenarnya Jamie Dimon dan kenapa dunia kripto tak bisa lepas dari pengaruhnya.
Latar Belakang Jamie Dimon
Untuk memahami sikap Jamie Dimon terhadap dunia keuangan, kamu perlu tahu latar belakang dan perjalanan kariernya yang panjang. Dimon tidak hanya sekadar bankir biasa, melainkan seorang dengan darah perbankan yang mengalir sejak kecil.
Jamie Dimon lahir pada 13 Maret 1956 di New York City, dari keluarga yang sudah akrab dengan dunia keuangan. Kakeknya adalah imigran Yunani yang bekerja sebagai broker saham, sementara ayahnya adalah seorang eksekutif di perusahaan sekuritas American Express. Lingkungan keluarga ini membentuk fondasi awal Dimon dalam memahami dunia finansial.
Perjalanan pendidikan Dimon sama mengesankannya. Ia menyelesaikan pendidikan sarjana di Tufts University dengan gelar ganda dalam bidang Psikologi dan Ekonomi, lulus dengan predikat summa cum laude. Kemudian ia melanjutkan pendidikan di Harvard Business School dan memperoleh gelar Master of Business Administration (MBA) pada 1982.
Karier awal Dimon dimulai di bawah bimbingan Sandy Weill di American Express. Hubungan mentor-mentee ini berlanjut ketika keduanya pindah ke Commercial Credit pada 1986. Dimon kemudian menjadi bagian penting dalam membangun Citigroup melalui serangkaian merger dan akuisisi. Namun, hubungan kerja dengan Weill berakhir pada 1998 ketika Dimon dipecat dari Citigroup karena perbedaan pandangan strategis.
Setelah keluar dari Citigroup, Dimon membuktikan ketangguhannya dengan menjadi CEO Bank One pada 2000. Di bawah kepemimpinannya, Bank One yang sebelumnya mengalami kesulitan berhasil kembali menguntungkan. Prestasi ini yang kemudian menarik perhatian JPMorgan Chase, yang akhirnya mengakuisisi Bank One pada 2004. Melalui akuisisi ini, Dimon masuk ke jajaran eksekutif JPMorgan dan setahun kemudian ditunjuk sebagai CEO.
Jejak karier tersebut jadi fondasi kuat Dimon dalam memimpin bank terbesar di AS dan menghadapi era disrupsi teknologi keuangan. Pengalamannya menghadapi berbagai krisis dan transformasi industri membentuk cara pandangnya yang unik terhadap inovasi, termasuk kripto dan blockchain.
Karier Cemerlang di JPMorgan Chase
Jamie Dimon bukan sekadar CEO biasa. Di tangan dialah JPMorgan bertahan dan tumbuh saat krisis besar mengguncang dunia. Sejak ditunjuk sebagai CEO JPMorgan Chase pada tahun 2005, Dimon telah mengukuhkan dirinya sebagai salah satu bankir paling berpengaruh sepanjang masa.
Momen paling mendefinisikan bagi karier Dimon adalah perannya selama krisis keuangan global 2008. Saat banyak bank besar tumbang atau membutuhkan bailout pemerintah yang besar, JPMorgan di bawah kepemimpinan Dimon justru tampil sebagai institusi yang relatif stabil. Bahkan, dengan dorongan dari Federal Reserve, JPMorgan mengakuisisi Bear Stearns pada Maret 2008 seharga $10 per saham jauh di bawah nilai puncaknya yang pernah mencapai $170 per saham. Beberapa bulan kemudian, JPMorgan juga mengakuisisi Washington Mutual setelah bank tersebut mengalami kebangkrutan terbesar dalam sejarah perbankan AS.
Aksi-aksi strategis ini tidak hanya menunjukkan ketangkasan Dimon dalam mengambil keputusan di tengah ketidakpastian, tapi juga menegaskan posisi JPMorgan sebagai bank yang “too big to fail” namun sekaligus cukup kuat untuk membantu menyelamatkan sistem keuangan AS.
Selama kepemimpinannya, Dimon juga sukses menerapkan strategi ekspansi global yang agresif, membawa JPMorgan ke posisi dominan di berbagai sektor perbankan dari perbankan ritel, kartu kredit, hingga investment banking dan manajemen aset. Di bawah arahannya, JPMorgan Chase berhasil mencetak rekor keuntungan secara konsisten. Pada tahun fiskal 2023, bank ini mencatat pendapatan sebesar $155,9 miliar dengan laba bersih $49,6 miliar angka yang mengesankan bahkan untuk standar Wall Street.
Dimon juga dikenal dengan pendekatannya yang ketat terhadap manajemen risiko. Ia secara rutin menulis surat tahunan kepada pemegang saham yang ditunggu-tunggu oleh industri keuangan global tidak hanya untuk memahami strategi JPMorgan, tapi juga untuk mendapatkan wawasan tentang arah ekonomi global. Dalam suratnya, Dimon kerap membahas risiko-risiko yang dia lihat di horizon, mulai dari bahaya utang publik yang berlebihan hingga ancaman disrupsi teknologi terhadap model bisnis perbankan tradisional.
Tapi di tengah reputasi sebagai penyelamat Wall Street, Dimon juga dikenal dengan sikap keras terhadap dunia kripto. Pandangannya yang tajam dan sering kontroversial tentang Bitcoin dan aset digital lainnya menjadi sorotan media global. Ini menjadikannya figur yang unik—seorang bankir tradisional yang sangat dihormati, namun juga salah satu kritikus paling vokal terhadap inovasi keuangan terbaru.
Kritik Tajam Jamie Dimon terhadap Kripto
“Bitcoin is a fraud,” kata Dimon pada 2017. Komentar itu sempat mengguncang pasar. Tapi apa alasan di balik ucapannya? Pernyataan kontroversial ini, yang disampaikan pada sebuah konferensi perbankan di New York, langsung memicu penurunan harga Bitcoin sebesar 10% dan menciptakan gelombang diskusi di komunitas kripto global.
Sejak saat itu, Jamie Dimon konsisten menjadi salah satu kritikus paling keras terhadap Bitcoin dan aset kripto lainnya. Pada Januari 2024, ia kembali menegaskan pandangannya dengan menyebut Bitcoin sebagai “pet rock” dan mengkritik volatilitasnya. “Saya benar-benar tidak peduli dengan Bitcoin,” katanya dalam wawancara dengan CNBC. “Orang-orang membuang-buang waktu berbicara tentangnya.”
Kekhawatiran utama Dimon terhadap kripto berpusat pada beberapa aspek. Pertama, ia sering menyoroti potensi penyalahgunaan kripto untuk aktivitas ilegal seperti pencucian uang, pendanaan terorisme, penggelapan pajak, dan penipuan. Menurutnya, anonimitas yang ditawarkan oleh beberapa jenis kripto membuat aset digital ini menjadi alat yang sempurna untuk aktivitas kriminal.
Kedua, Dimon mengkritisi volatilitas ekstrem yang kerap ditunjukkan oleh Bitcoin dan kripto lainnya. Ia berpendapat bahwa fluktuasi harga yang drastis membuat kripto tidak cocok sebagai penyimpan nilai atau alat tukar yang stabil fungsi dasar dari mata uang yang baik. “Sesuatu yang naik 10 kali lipat dalam setahun tidak bisa menjadi mata uang,” ungkapnya.
Ketiga, Dimon menekankan kurangnya regulasi yang jelas dalam industri kripto sebagai risiko sistemik. Ia berulang kali menyerukan pentingnya kerangka hukum yang komprehensif untuk melindungi konsumen dan mencegah risiko terhadap stabilitas keuangan global. Di tengah keruntuhan FTX pada 2022, Dimon bahkan menyebut seluruh ekosistem kripto sebagai “pertunjukan sirkus.”
Namun, kritik Dimon terhadap Bitcoin tidak selalu konsisten. Pada 2018, ia mengakui menyesali komentarnya yang menyebut Bitcoin sebagai penipuan, meskipun tetap skeptis terhadap nilai intrinsiknya. Sikapnya terhadap stablecoin juga cenderung lebih lunak, terutama jika didukung oleh regulasi yang tepat.
Yang menarik, Dimon membedakan dengan jelas antara kritiknya terhadap Bitcoin sebagai aset spekulatif dan potensi teknologi blockchain yang mendasarinya. “Blockchain adalah teknologi yang nyata,” katanya dalam sebuah wawancara tahun 2023, mengakui bahwa JPMorgan telah menggunakan teknologi ini untuk memperbarui sistem keuangannya.
Namun, ada ironi menarik. Di balik kritiknya, JPMorgan justru membangun produk berbasis blockchain. Lalu, bagaimana itu bisa terjadi? Mari kita lihat bagaimana bank terbesar AS ini justru menjadi salah satu pemain utama dalam adopsi teknologi blockchain.
JPM Coin dan Onyx: Ketika JPMorgan Masuk Dunia Blockchain
Meski Dimon lantang mengkritik Bitcoin, bank yang ia pimpin justru aktif membangun infrastruktur blockchain. Ini menciptakan paradoks menarik yang sering membingungkan pengamat industri keuangan dan kripto.
JPM Coin, diluncurkan pada 2019, menjadi salah satu bukti nyata keterlibatan JPMorgan dalam teknologi blockchain. Berbeda dengan Bitcoin, JPM Coin adalah stablecoin yang dirancang khusus untuk digunakan dalam transaksi antar institusi. Setiap koin dijamin dengan nilai yang setara dalam dolar AS yang disimpan di rekening JPMorgan, sehingga tidak mengalami volatilitas harga seperti kebanyakan cryptocurrency publik.
Penggunaan utama JPM Coin adalah untuk memfasilitasi transfer dana internasional dan settlement transaksi sekuritas secara real-time. Dengan menggunakan blockchain, JPMorgan dapat menawarkan kecepatan dan efisiensi yang jauh lebih tinggi dibandingkan sistem perbankan tradisional. Pada Oktober 2023, Takis Georgakopoulos, Global Head of Payments di JPMorgan, mengumumkan bahwa JPM Coin telah memproses transaksi senilai lebih dari $300 miliar sejak peluncurannya.
Lebih jauh lagi, pada Oktober 2020, JPMorgan meluncurkan Onyx, unit bisnis khusus yang berfokus pada pengembangan dan penerapan solusi blockchain untuk industri keuangan. Onyx tidak hanya mengelola JPM Coin, tapi juga mengembangkan berbagai produk inovatif seperti Onyx Digital Assets, platform untuk tokenisasi aset tradisional dan pemrograman smart contract.
Salah satu proyek signifikan Onyx adalah Liink, jaringan berbasis blockchain yang menghubungkan lebih dari 400 lembaga keuangan global dan perusahaan multinasional untuk berbagi informasi perbankan secara aman dan efisien. JPMorgan juga berkolaborasi dengan Visa pada November 2023 untuk mengintegrasikan teknologi blockchain mereka guna meningkatkan efisiensi pembayaran lintas batas.
Yang lebih mengejutkan, JPMorgan juga aktif berpartisipasi dalam pengembangan jaringan Ethereum layer-2 dan Ethereum blockchain publik lainnya. Bank ini bahkan menjadi anggota Enterprise Ethereum Alliance dan telah menjalin kemitraan dengan perusahaan blockchain terkemuka seperti ConsenSys.
Di Singapura, JPMorgan berkolaborasi dengan Monetary Authority of Singapore (MAS) dalam Project Guardian, inisiatif yang mengeksplorasi penggunaan tokenisasi aset dan DeFi (Decentralized Finance) dalam sektor keuangan tradisional. Kolaborasi ini mencakup uji coba tokenisasi obligasi Singapura dan mata uang Yen menggunakan teknologi blockchain.
Strategi JPMorgan dalam blockchain tampaknya adalah untuk memisahkan teknologi dari spekulasi. Bank ini menolak cryptocurrency spekulatif seperti Bitcoin, namun merangkul teknologi blockchain untuk meningkatkan efisiensi operasional dan menciptakan produk keuangan baru.
Inilah paradoks Jamie Dimon mengkritik kripto, tapi mendorong inovasi dari balik layar. Pendekatan ini mencerminkan pandangan pragmatis Dimon: menolak aspek spekulatif kripto sambil tetap memastikan JPMorgan tidak ketinggalan dalam revolusi teknologi keuangan yang sedang berlangsung.
Kamu mungkin tertarik dengan ini juga: Stablecoin vs Kripto Volatilitas: Mana yang Terbaik?
Pandangan Dimon terhadap The Fed dan Ekonomi Global
Selain kripto, Dimon juga sering mengomentari kebijakan bank sentral dan geopolitik global. Sebagai CEO bank terbesar di AS, pandangannya tentang ekonomi makro selalu mendapat perhatian dari pasar dan pembuat kebijakan.
Dimon telah menjadi salah satu kritikus paling vokal terhadap Federal Reserve (The Fed) dalam beberapa tahun terakhir, terutama terkait respons mereka terhadap inflasi. Pada 2023, ia menyatakan bahwa The Fed terlambat dalam menaikkan suku bunga untuk mengatasi tekanan inflasi yang mulai tampak sejak 2021. “Mereka seharusnya mulai bergerak lebih awal,” kata Dimon dalam sebuah wawancara dengan Bloomberg. “Keterlambatan ini membuat mereka harus menaikkan suku bunga lebih tinggi dan lebih cepat dari yang seharusnya.”
Di awal 2024, pandangan Dimon tentang ekonomi AS cenderung pesimistis. Dalam surat tahunannya kepada pemegang saham JPMorgan, ia menyatakan bahwa “soft landing” penurunan inflasi tanpa resesi hanya memiliki peluang 70%, dan menurut proyeksinya, resesi ringan pada 2025 justru menjadi “skenario terbaik” yang bisa diharapkan. Prediksi ini bertentangan dengan optimisme pasar yang mendorong indeks saham ke level tertinggi sepanjang masa.
Kekhawatiran Dimon juga meluas ke tensi geopolitik, terutama hubungan AS-China. Ia telah berulang kali memperingatkan bahwa perang dagang berkelanjutan antara kedua negara adidaya ekonomi ini dapat berdampak signifikan pada pertumbuhan global. “Kita harus mewaspadai konsekuensi jangka panjang dari de-globalisasi,” ujarnya pada World Economic Forum 2024 di Davos.
Terkait Brexit, Dimon awalnya memperingatkan potensi dampak negatif pada ekonomi Inggris. Namun, setelah keputusan tersebut final, ia mengubah nadanya dan menyatakan dukungan terhadap kebijakan pertumbuhan Inggris pasca-Brexit. JPMorgan bahkan tetap berkomitmen pada operasinya di London meskipun sempat mengisyaratkan akan memindahkan sebagian stafnya ke lokasi lain di Eropa.
Dimon juga kerap memberikan pandangan tentang utang publik AS yang terus membengkak. Pada Januari 2024, ia memperingatkan bahwa defisit fiskal AS yang berkelanjutan dapat menjadi “bom waktu” bagi ekonomi global. “Kita tidak bisa terus menambah utang tanpa konsekuensi,” tegasnya, menyerukan reformasi fiskal.
Yang menarik, pandangan Dimon tentang ekonomi sering mencerminkan sikap konservatifnya terhadap risiko mirip dengan kekhawatirannya terhadap kripto. Ia cenderung lebih menekankan potensi bahaya daripada peluang, pendekatan yang mungkin berakar dari pengalamannya menghadapi krisis keuangan 2008.
Semua ini menunjukkan bahwa pengaruh Dimon meluas tak hanya di dunia perbankan, tapi juga geopolitik dan ekonomi makro. Sebagai CEO bank yang mengelola aset triliunan dolar, pandangannya tentang arah ekonomi memiliki bobot yang signifikan, baik bagi para investor maupun pembuat kebijakan.
Sosok yang Disorot Tapi Tak Tergantikan
Banyak yang bertanya: kapan Jamie Dimon pensiun? Namun kenyataannya, belum ada figur sekuat dirinya di JPMorgan. Pada usia 69 tahun (per 2025), Dimon telah menjabat sebagai CEO JPMorgan selama hampir 20 tahun masa jabatan yang luar biasa panjang untuk standar Wall Street modern.
Keberhasilan Dimon memimpin JPMorgan melalui berbagai krisis telah menciptakan aura ketidak tergantikan di sekitarnya. Meskipun JPMorgan memiliki proses suksesi yang sedang berjalan, belum ada pengumuman resmi tentang siapa yang akan menggantikan Dimon. Beberapa nama yang sering disebut sebagai calon potensial termasuk Marianne Lake dan Jennifer Piepszak (Co-CEOs dari Consumer & Community Banking), serta Daniel Pinto (President dan COO).
Selama bertahun-tahun, Dimon telah berulang kali memperpanjang masa jabatannya. Pada 2018, JPMorgan mengumumkan bahwa Dimon berencana untuk tetap sebagai CEO “untuk sekitar lima tahun lagi,” namun tanpa menetapkan tanggal pensiun yang pasti. Pada Mei 2023, dewan direksi JPMorgan kembali meminta Dimon untuk mempertimbangkan masa jabatan yang lebih lama, menandakan ketergantungan bank terhadap kepemimpinannya.
Salah satu alasan mengapa Dimon tetap bertahan adalah responnya yang efektif terhadap berbagai krisis. Dari krisis keuangan 2008 hingga pandemi COVID-19, Dimon telah menunjukkan kemampuan luar biasa dalam mengarahkan JPMorgan melalui masa-masa sulit. Dibandingkan dengan banyak CEO bank lain yang mundur atau dipecat setelah kinerja buruk, Dimon justru semakin mengukuhkan posisinya setiap kali menghadapi tantangan baru.
Dimon juga tetap menjadi pusat perhatian media keuangan dunia. Komentarnya tentang ekonomi, politik, atau kripto secara rutin menjadi headline berita dan mempengaruhi sentimen pasar. “Jamie Says” telah menjadi semacam barometer sentiment di Wall Street indikasi dari kekuatan pengaruhnya yang jarang dimiliki eksekutif korporat lainnya.
Namun, pembaruan terbaru pada 2024 mengindikasikan bahwa Dimon akhirnya mulai mempersiapkan transisi kepemimpinan yang lebih konkret. JPMorgan dilaporkan memperkuat struktur manajemen seniornya dan memberikan tanggung jawab lebih besar kepada beberapa eksekutif kunci sebagai bagian dari proses persiapan suksesi.
Dengan semua pencapaiannya, bagaimana seharusnya dunia kripto memandang Jamie Dimon? Apakah sebagai musuh yang perlu diwaspadai, atau justru sebagai suara kritik yang membantu mendewasakan industri?
Artikel menarik lainnya untuk kamu: Stablecoin Avit Resmi Diluncurkan! Bank AS Gandeng Ethereum
Kesimpulan
Jamie Dimon mungkin bukan pendukung Bitcoin, tapi ia jelas bukan musuh teknologi. Sikap kritisnya lahir dari pengalaman panjang menghadapi krisis dan kehati-hatian menghadapi perubahan. Pandangannya tentang kripto, meskipun kontroversial, telah memaksa industri untuk meningkatkan standar keamanan, transparansi, dan kepatuhan regulasi.
Sebagai CEO bank terbesar di Amerika Serikat, Dimon berada dalam posisi unik di persimpangan antara keuangan tradisional dan inovasi digital. Kritiknya terhadap Bitcoin dan aset kripto lainnya harus dipahami dalam konteks tanggung jawabnya terhadap stabilitas sistem keuangan dan perlindungan konsumen. Di saat yang sama, investasi JPMorgan dalam teknologi blockchain menunjukkan bahwa Dimon mampu membedakan antara spekulasi kripto dan potensi transformatif dari teknologi yang mendasarinya.
Kontradiksi antara kritik Dimon terhadap Bitcoin dan keterlibatan JPMorgan dalam blockchain mencerminkan realitas kompleks dari revolusi keuangan digital yang sedang berlangsung. Ini juga menggambarkan pendekatan pragmatis Dimon—menolak aspek spekulatif kripto sambil merangkul inovasi yang dapat meningkatkan efisiensi dan mengurangi biaya.
Buat kamu yang aktif di dunia kripto, penting untuk memahami tokoh seperti Dimon. Kritiknya, meskipun kadang pedas, menawarkan perspektif berharga dari sudut pandang lembaga keuangan tradisional. Memahami kekhawatiran ini dapat membantu industri kripto mengatasi tantangan regulasi dan adopsi mainstream.
Terlepas dari pandangannya tentang kripto, warisan Dimon sebagai salah satu bankir paling sukses dan berpengaruh dalam sejarah modern sudah terjamin. Kepemimpinannya selama hampir dua dekade telah mengubah JPMorgan menjadi institusi keuangan yang dominan dan tangguh, dengan pengaruh yang meluas jauh melampaui Wall Street.
Sebab, kadang yang paling keras mengkritik justru adalah mereka yang diam-diam ikut membangun masa depan. Jamie Dimon, dengan segala kompleksitas dan kontradiksinya, akan tetap menjadi figur penting dalam dialog berkelanjutan antara keuangan tradisional dan revolusi digital.
Itulah pembahasan menarik tentang sosok Jamie Dimon yang bisa kamu pelajari lebih dalam hanya di Akademi crypto. Tidak hanya menambah wawasan tentang investasi, di sini kamu juga dapat menemukan berita crypto terkini seputar dunia kripto.
Dan untuk pengalaman trading yang mudah dan aman, download aplikasi crypto terbaik dari INDODAX di App Store atau Google Play Store. Kamu juga bisa mulai beli Bitcoin, beli Ethereum, dan aset kripto lainnya dengan praktis hanya dalam genggaman di INDODAX Market.. Ikuti juga sosial media INDODAX di sini: Instagram, X, Youtube & Telegram
FAQ
1. Kenapa Jamie Dimon tidak suka Bitcoin?
Jamie Dimon tidak menyukai Bitcoin karena beberapa alasan: menurutnya Bitcoin terlalu volatil untuk menjadi penyimpan nilai yang stabil, rentan disalahgunakan untuk aktivitas ilegal seperti pencucian uang dan penipuan, serta tidak memiliki dukungan dari otoritas keuangan resmi. Dimon juga mengkhawatirkan kurangnya regulasi yang jelas dalam industri kripto secara keseluruhan.
2. Apakah JPMorgan anti-kripto?
Tidak sepenuhnya. JPMorgan mengambil pendekatan nuansa terhadap kripto dan blockchain. Sementara CEO-nya sering mengkritik Bitcoin dan aset kripto spekulatif lainnya, bank ini justru aktif mengembangkan teknologi blockchain dan bahkan memiliki stablecoin internal sendiri, JPM Coin. JPMorgan bersikap hati-hati terhadap kripto publik sambil memanfaatkan teknologi yang mendasarinya untuk meningkatkan efisiensi operasional.
3. Apa itu JPM Coin?
JPM Coin adalah stablecoin digital yang dikembangkan oleh JPMorgan Chase untuk memfasilitasi transfer dana cepat antar nasabah institusional bank. Diluncurkan pada 2019, setiap JPM Coin dijamin dengan nilai setara dalam dolar AS yang disimpan di rekening JPMorgan. Ini digunakan terutama untuk settlement transaksi internasional dan sekuritas secara real-time, yang memungkinkan proses yang lebih cepat dibandingkan sistem perbankan tradisional.
4. Apakah Jamie Dimon akan pensiun?
Belum ada kepastian tentang kapan Jamie Dimon akan pensiun. Meski usianya hampir 70 tahun dan telah memimpin JPMorgan selama hampir 20 tahun, Dimon tetap memimpin bank hingga saat ini. Pada 2023, dewan direksi JPMorgan bahkan memintanya untuk mempertimbangkan masa jabatan yang lebih lama. Namun, laporan terbaru mengindikasikan bahwa bank mulai mempersiapkan proses suksesi yang lebih konkret.
5. Apa pengaruh Jamie Dimon terhadap kripto global?
Sebagai CEO bank terbesar di AS, pernyataan Jamie Dimon tentang kripto sering memicu sentimen pasar dan dapat menyebabkan fluktuasi harga jangka pendek. Lebih penting lagi, kritiknya telah mempengaruhi diskusi regulasi tentang aset digital. Meskipun kerap mengkritik, keterlibatan JPMorgan dalam blockchain secara tidak langsung memberikan legitimasi pada teknologi yang mendasari kripto, yang pada gilirannya mendorong adopsi oleh institusi keuangan tradisional lainnya.
Author: RB