Buyback token kembali mencuri perhatian setelah sempat menghilang sejak 2022.
Dorongan regulasi baru di Amerika Serikat, termasuk perubahan sikap SEC serta munculnya Clarity Act, membuat mekanisme yang dulu dianggap berisiko kini kembali diterapkan oleh beberapa protokol besar.
Uniswap (UNI), Hyperliquid (HYPE), hingga proyek eksperimental seperti Pump.fun mulai membuka babak baru bagi tokenomics 2025.
Perubahan ini memicu diskusi luas, mengingat buyback sebelumnya identik dengan potensi klasifikasi sekuritas.
Kini, buyback hadir dengan desain baru yang lebih terdesentralisasi dan otomatis, sehingga dinilai lebih aman dari tekanan regulasi.
Buyback Sempat Mandek karena Tekanan SEC
Buyback menghilang sejak 2022 setelah SEC menilai bahwa pembelian token oleh protokol menggunakan pendapatan internal berpotensi menyerupai pembagian dividen.
Ketika manfaat ekonomi langsung diterima oleh pemegang token, mekanisme tersebut dianggap sebagai ciri sekuritas berdasarkan elemen Howey Test.
Situasi ini membuat proyek besar seperti Uniswap dan Compound menunda seluruh rencana buyback.
Bahkan wacana “fee switch” Uniswap tersendat selama bertahun-tahun karena kekhawatiran klasifikasi sebagai investment contract.
Dengan tingginya risiko hukum, proyek-proyek yang berbasis di Amerika Serikat memilih untuk menghentikan seluruh skema yang dapat meningkatkan nilai token secara langsung, termasuk distribusi pendapatan ke holder.
Baca juga berita terkait: Sign Maju ke Proyek CBDC Global, Dapat Kontrak dari 2 Negara Ini
Regulasi Berubah: Fokus Baru pada Desentralisasi
Kebangkitan buyback pada 2025 tidak terjadi karena regulator tiba-tiba memberi lampu hijau. Yang berubah adalah cara pandang SEC terhadap token dan tata kelolanya.
Di era kepemimpinan Atkins, SEC mulai menilai token berdasarkan struktur nyata di balik protokol, bukan sekadar hasil ekonominya. Dua konsep menjadi penting:
1. Lifecycle token

Sumber Gambar: Tiger Research
Token bisa dianggap sebagai sekuritas di fase awal karena bergantung pada tim, tetapi bisa berubah menjadi “digital commodity” ketika jaringan sudah terdesentralisasi dan tidak lagi dikendalikan pihak tertentu.
2. Functional decentralization
Desentralisasi yang dilihat bukan jumlah node, tetapi siapa yang memegang kendali atas parameter inti. Jika keputusan dilakukan DAO dan otomatis dieksekusi oleh smart contract, risikonya jauh lebih rendah dibanding protokol yang masih bergantung pada multisig foundation.
Kedua perubahan perspektif ini diperkuat oleh Project Crypto, inisiatif internal SEC yang memperjelas batasan antara aset sekuritas dan aset komoditas.
Clarity Act Mengubah Aturan Main

Sumber Gambar: Tiger Research
Clarity Act mempertegas bahwa token tidak otomatis menjadi sekuritas hanya karena pernah dijual sebagai bagian dari investasi awal.
Dalam perdagangan sekunder, token dapat dikategorikan sebagai Digital Commodity, di bawah pengawasan CFTC, bukan SEC.
Terdapat implikasi yang cukup besar, buyback yang dilakukan tanpa distribusi keuntungan langsung kini dapat dipandang sebagai kebijakan pengelolaan suplai, bukan dividen terselubung.
Ini membuka ruang legal baru bagi protokol untuk mendesain mekanisme ekonomi yang lebih fleksibel
Baca selanjutnya: Gradient Tantang Raksasa AI! Era Open Intelligence Sudah Dimulai
.
Model Baru: Buyback & Burn Tanpa Campur Tangan Foundation
Buyback generasi 2025 menghindari seluruh indikator yang selama ini diasosiasikan dengan sekuritas. Model yang menguat tahun ini memiliki karakteristik:
- pembelian token otomatis melalui smart contract
- burn dilakukan langsung setelah pembelian
- tidak ada penyaluran revenue ke pemegang token
- tidak ada kontrol manual dari foundation
- keputusan hanya melalui voting DAO

Sumber Gambar: Tiger Research
Contoh paling menonjol adalah Hyperliquid, yang menggunakan mekanisme otomatis untuk membeli dan membakar token berdasarkan parameter protokol. Ini menurunkan risiko regulasi karena tidak ada faktor manusia yang mengatur timing pasar.
Uniswap turut mengusulkan Unification Proposal yang mengalihkan sebagian biaya transaksi ke DAO treasury, kemudian digunakan untuk buyback & burn otomatis tanpa sentuhan foundation. Proposal ini menandai perubahan besar setelah tiga tahun stagnasi.
Tidak Semua Buyback Aman
Meski buyback kembali tren, tidak semua model dapat lolos dari jeratan regulasi. Tiger Research menekankan bahwa program buyback tetap berpotensi dianggap berisiko apabila:
- foundation menentukan waktu pembelian token
- treasury berada di bawah kendali pihak kecil
- burn tidak otomatis
- ada distribusi manfaat langsung kepada holder
- eksekusi masih mengandalkan multisig privat
Proyek yang tidak bisa menunjukkan desentralisasi fungsional tetap menghadapi risiko tinggi.
Kesimpulan
Kembalinya buyback setelah tiga tahun absen menandai perubahan penting dalam dinamika tokenomics 2025.
Regulasi tidak lagi menutup pintu sepenuhnya, tetapi memaksa protokol untuk membangun mekanisme yang benar-benar otomatis, terdesentralisasi, dan bebas intervensi manusia.
Buyback kini lebih mirip kebijakan suplai daripada instrumen peningkatan harga. Meski begitu, keberhasilan jangka panjang tetap ditentukan oleh kekuatan fundamental proyek, bukan hanya mekanisme burn.
Tahun 2025 bisa menjadi titik penting bagi model ekonomi token yang lebih matang, tetapi standar baru yang ditegaskan regulator membuat tantangan masih jauh dari selesai.

Artikel ini hasil Kolaborasi antara INDODAX x Tiger Research
FAQ
- Apa itu buyback token dalam konteks kripto?
Buyback token adalah mekanisme ketika protokol menggunakan pendapatan untuk membeli tokennya kembali dari pasar. Model terbaru biasanya diikuti burn otomatis sehingga total suplai berkurang tanpa memberikan dividen kepada holder. - Mengapa buyback token sempat dihentikan sejak 2022?
Karena SEC menilai buyback menyerupai pembagian keuntungan. Ketika protokol membeli token menggunakan pendapatan, holder dinilai mendapatkan manfaat ekonomi. Ini membuat buyback berpotensi dikategorikan sebagai sekuritas. - Apa yang membuat buyback kembali populer di 2025?
Perubahan regulasi, terutama Project Crypto dan Clarity Act, memungkinkan token diklasifikasikan sebagai digital commodity. Selama buyback dilakukan otomatis dan tidak memberi manfaat langsung ke holder, risikonya jauh lebih rendah. - Apa bedanya buyback & burn dengan fee sharing?
Fee sharing membagikan pendapatan langsung kepada pemegang token, sedangkan buyback & burn hanya mengurangi suplai tanpa memberikan pembayaran langsung. Fee sharing lebih berisiko dianggap sekuritas, sedangkan buyback & burn lebih aman jika terdesentralisasi. - Apakah buyback pasti membuat harga token naik?
Tidak. Burn mengurangi suplai, tetapi tidak bisa memperbaiki fundamental proyek yang lemah. Buyback hanya efektif jika ada permintaan yang tumbuh dan utilitas token yang kuat. - Mengapa desentralisasi fungsional penting dalam buyback?
Regulator menilai apakah keputusan penting dikendalikan DAO atau foundation. Jika eksekusi buyback masih bergantung pada manusia, regulator dapat menilai adanya niat mempengaruhi harga, yang kembali membuka risiko sekuritas.
Itulah informasi berita crypto hari ini. Aktifkan notifikasi agar Anda selalu mendapatkan informasi terkini dan edukasi dari Akademi Crypto seputar aset digital dan teknologi blockchain hanya di INDODAX Academy.
Jangan sampai ketinggalan berita terbaru terkait dunia kripto, pergerakan pasar, dan masih banyak lagi di laman artikel edukasi crypto terpopuler.
Anda juga dapat mengikuti berita terbaru kami melalui Google News untuk akses informasi yang lebih cepat dan terpercaya.
Untuk pengalaman trading yang mudah dan aman, download aplikasi crypto terbaik dari INDODAX di App Store atau Google Play Store.
Kontak Resmi Indodax
Nomor Layanan Pelanggan: (021) 5065 8888 | Email Bantuan: [email protected]
Ikuti juga sosial media INDODAX di sini: Instagram, X, Youtube & Telegram
Author: Fau
Tag Terkait: #Berita Kripto Hari Ini, #Berita Mata uang Kripto, #Berita Altcoin





Polkadot 9.66%
BNB 0.78%
Solana 4.89%
Ethereum 2.37%
Cardano 1.22%
Polygon Ecosystem Token 2.16%
Tron 2.84%
Pasar
