Kamu pernah dengar istilah “cadangan devisa” tiap kali Bank Indonesia bicara soal kestabilan ekonomi? Mungkin terdengar teknis, tapi sebenarnya peran cadev sangat besar dalam kehidupan kita sehari-hari—terutama dalam menjaga nilai tukar rupiah, mengamankan kebutuhan impor, bahkan mengantisipasi gejolak global. Menariknya, di tahun 2025, pembahasan soal cadev makin berkembang karena muncul wacana baru: apakah Bitcoin bisa jadi cadangan devisa juga?
Yuk kita bahas tuntas—dari definisinya, posisi Indonesia terbaru, sampai tren global soal digital reserve.
Apa Itu Cadev? Pengertian Dasar yang Perlu Kamu Tahu
Kalau kamu sering baca berita ekonomi, pasti pernah dengar istilah cadangan devisa atau disingkat cadev. Tapi apa sebenarnya maksudnya? Secara sederhana, cadev adalah simpanan aset keuangan milik negara yang dikelola oleh bank sentral—di Indonesia, tentu oleh Bank Indonesia (BI). Aset ini disimpan dalam bentuk yang likuid, aman, dan bernilai global, karena fungsinya memang untuk menopang kestabilan ekonomi secara langsung.
Komposisi cadev biasanya mencakup:
- Mata uang asing (foreign exchange reserve) seperti dolar AS, euro, yen, dan yuan,
- Emas moneter yang tersimpan di bank sentral,
- Surat berharga luar negeri seperti obligasi pemerintah negara maju,
- Special Drawing Rights (SDR) yang diterbitkan oleh Dana Moneter Internasional (IMF), dan
- Simpanan di bank sentral negara lain yang bisa digunakan sewaktu-waktu untuk kebutuhan internasional.
Dalam kerangka makroekonomi, fungsi utama cadangan devisa adalah menjaga stabilitas nilai tukar mata uang lokal. Ketika rupiah berfluktuasi terlalu tajam—terutama terhadap dolar AS—Bank Indonesia bisa mengintervensi pasar valas dengan menjual atau membeli valuta asing menggunakan cadev. Tujuannya adalah menahan volatilitas agar tak berdampak buruk ke inflasi, suku bunga, atau harga barang impor.
Tapi bukan cuma soal kurs rupiah. Cadev juga berperan sebagai jaminan kemampuan negara membayar utang luar negeri, membiayai impor barang strategis, serta memperkuat kepercayaan investor asing yang ingin masuk ke pasar domestik. Semakin tinggi dan stabil posisi cadangan devisa, semakin kokoh pula persepsi global terhadap ketahanan ekonomi kita.
Dengan memahami dasar ini, kamu jadi tahu kenapa setiap rilis data cadev rutin dipantau pelaku pasar. Sekarang, mari kita lihat langsung posisi terbaru cadangan devisa Indonesia di tahun 2025 dan apa maknanya bagi stabilitas ekonomi kita.
Data Terbaru Cadangan Devisa Indonesia (2025)
Setiap bulan, Bank Indonesia rutin merilis angka terbaru cadangan devisa. Dan per akhir Juli 2025, BI melaporkan bahwa posisi cadangan devisa Indonesia mencapai USD?152,0 miliar. Angka ini memang mengalami penurunan tipis dibandingkan USD?152,6 miliar pada akhir Juni lalu, tapi secara keseluruhan, level ini tetap tergolong kuat dan aman menurut standar internasional.
Untuk kamu yang belum tahu, standar minimal cadangan devisa global biasanya hanya sekitar tiga bulan pembiayaan impor. Nah, Indonesia saat ini punya buffer yang jauh lebih tebal: setara 6,3 bulan impor. Artinya, kalau tiba-tiba ekspor seret dan investasi asing berhenti masuk, negara kita masih sanggup memenuhi kebutuhan pokok dari luar negeri tanpa goyah. Ini salah satu indikator utama ketahanan ekonomi makro.
Bank Indonesia juga menjelaskan, posisi ini ditopang oleh beberapa hal positif: penerimaan pajak yang konsisten, kinerja ekspor yang masih cukup baik, serta penarikan pinjaman luar negeri dalam rangka penguatan fiskal. Jadi, bukan hanya besar nominalnya, tapi juga ditopang oleh fondasi ekonomi yang relatif stabil.
Tentu saja, ada dinamika eksternal yang harus terus dipantau—seperti gejolak suku bunga global, tensi geopolitik, dan volatilitas komoditas. Tapi dari sisi cadangan devisa, Indonesia masih punya ruang napas yang panjang. Ini juga menjadi sinyal positif buat investor asing dan pelaku pasar global yang ingin masuk ke pasar Indonesia.
Namun di tengah stabilitas ini, diskusi soal diversifikasi cadangan devisa mulai bergulir. Terutama dengan munculnya pertanyaan besar di dunia keuangan global: apakah Bitcoin bisa—atau bahkan seharusnya—masuk dalam komposisi cadev suatu negara?
Bitcoin sebagai Cadev? Wacana yang Semakin Serius
Beberapa tahun lalu, menyebut Bitcoin dalam satu kalimat bersama “cadangan devisa” mungkin terdengar seperti mimpi di siang bolong. Tapi kini, diskusi itu bukan lagi sekadar angan-angan komunitas kripto. Di tahun 2025, wacana menjadikan Bitcoin sebagai bagian dari cadangan negara mulai masuk ke meja rapat kebijakan moneter dan fiskal, bahkan di tingkat tertinggi pemerintahan.
Apa yang membuat Bitcoin tiba-tiba dilirik dalam konteks seprestisius cadangan devisa? Jawabannya terletak pada karakter unik yang dimilikinya—karakter yang selama ini dimiliki emas, dan kini diklaim oleh banyak pihak sebagai milik “emas digital”.
Bitcoin memiliki suplai tetap sebesar 21 juta koin. Ia tidak bisa dicetak ulang seperti uang fiat, tidak tunduk pada kebijakan moneter negara manapun, dan bisa ditransfer lintas batas dengan kecepatan internet. Ini membuatnya anti-inflasi, desentralistik, dan sovereign-proof—sebuah kombinasi yang menarik bagi negara-negara yang ingin lepas dari ketergantungan pada dolar AS atau ingin menyiasati risiko sanksi ekonomi.
Sejumlah ekonom global mulai melihat peluang ini secara serius. Salah satu studi terpenting datang dari Dr. Matthew Ferranti di Harvard University. Dalam penelitiannya, ia menyarankan bahwa negara berkembang yang menghadapi risiko inflasi dan tekanan eksternal tinggi sebaiknya mempertimbangkan alokasi 2–5% dari cadangan devisa mereka ke Bitcoin. Alasan utamanya? Diversifikasi dan perlindungan nilai (hedging) yang tidak bisa diberikan oleh obligasi atau dolar AS dalam kondisi geopolitik yang tidak stabil.
Bahkan lebih dari sekadar wacana akademik, beberapa negara sudah mulai bertindak. Mereka tidak menunggu regulasi internasional berubah, tapi memilih mengakumulasi Bitcoin sebagai cadangan alternatif atau strategis. Langkah ini tentu mengundang perdebatan, tapi juga membuka era baru dalam geopolitik moneter global.
Siapa saja negara yang sudah melangkah? Seberapa besar nilainya? Dan apa motivasi mereka? Yuk, kita telaah satu per satu di bagian berikutnya.
Masih seputar topik ini, simak juga: Indonesia Buka Wacana Bitcoin Jadi Aset Cadangan Negara
Negara yang Sudah atau Sedang Menuju Bitcoin Reserve
Amerika Serikat jadi sorotan utama sejak Presiden Donald Trump menandatangani executive order pada Maret 2025 untuk membentuk Strategic Bitcoin Reserve. Pemerintah AS menyimpan lebih dari 198.000 BTC hasil dari penyitaan aset digital, yang kini dikonversi menjadi bagian dari cadangan strategis nasional. Total nilainya diperkirakan mencapai USD?21 miliar.
Lalu ada Bhutan, negara kecil di Himalaya yang ternyata sudah menyimpan lebih dari 12.000 BTC—senilai lebih dari USD?1 miliar—hasil dari penambangan Bitcoin yang mereka lakukan sendiri dengan tenaga hidro. Menariknya, mereka melakukannya diam-diam selama bertahun-tahun.
Di Pakistan, rencana cadangan Bitcoin diumumkan bersamaan dengan strategi nasional AI dan data center. Pemerintah mengalokasikan 2.000 megawatt energi untuk penambangan kripto serta pemrosesan AI.
Sementara itu, Brazil tengah memproses RUU yang memungkinkan hingga 5% cadangan devisa disimpan dalam bentuk Bitcoin. Sidang resminya dijadwalkan pada Agustus 2025.
Dan terakhir, Indonesia pun tak ketinggalan. Meski belum resmi, ada diskusi strategis antara perwakilan kripto domestik dan Kantor Wakil Presiden soal masa depan digital reserve, termasuk kemungkinan penambangan terintegrasi dan alokasi BTC sebagai alternatif masa depan.
Melihat berbagai langkah nyata tersebut, kamu mungkin penasaran: apa sebenarnya keunggulan dan kelemahan dari menjadikan Bitcoin sebagai cadangan devisa?
Keunggulan dan Risiko Bitcoin sebagai Cadangan Negara
Setelah melihat bagaimana beberapa negara mulai melirik atau bahkan menyimpan Bitcoin sebagai bagian dari aset nasional, kamu mungkin bertanya—apa benar Bitcoin cocok dijadikan cadangan devisa layaknya dolar atau emas?
Dari satu sisi, jawabannya bisa ya. Bitcoin menawarkan beberapa keunggulan strategis yang sulit dicapai oleh aset konvensional. Pertama, ia bisa mendiversifikasi risiko dari dominasi dolar AS atau instrumen fiat lain yang bisa tertekan oleh inflasi atau kebijakan negara penerbit. Diversifikasi ini sangat penting, terutama bagi negara berkembang yang rentan terhadap gejolak eksternal.
Kedua, karena bersifat permissionless dan borderless, Bitcoin dianggap lebih tahan terhadap tekanan geopolitik atau sanksi ekonomi dari negara adidaya. Hal ini sudah menjadi pertimbangan serius bagi beberapa negara yang ingin lebih mandiri secara finansial.
Ketiga, dari sisi struktur pasarnya, Bitcoin memiliki suplai maksimal yang tetap (21 juta BTC). Ini menciptakan efek kelangkaan digital, menjadikannya aset anti-inflasi yang bisa menyaingi emas. Karena bisa diperdagangkan di seluruh dunia 24/7, Bitcoin juga dinilai memiliki likuiditas tinggi, terutama dalam pasar kripto global yang makin matang.
Namun di balik semua potensi itu, risiko Bitcoin sebagai cadangan negara juga tidak bisa disepelekan.
Salah satu tantangan utama adalah volatilitas harga yang ekstrem. Nilai Bitcoin bisa naik ratusan persen dalam setahun, tapi juga bisa anjlok drastis dalam hitungan minggu. Ini membuatnya tidak ideal untuk keperluan intervensi nilai tukar jangka pendek—peran yang selama ini dijalankan mata uang fiat atau obligasi stabil.
Selain itu, status hukum dan regulasi Bitcoin masih belum seragam di tingkat global. Belum ada standar akuntansi internasional yang jelas untuk mencatat Bitcoin dalam neraca bank sentral, dan ini membuat banyak lembaga keuangan masih ragu.
Terakhir, ada yang disebut sebagai risiko reputasi. Kalau suatu negara mengadopsi Bitcoin terlalu dini tanpa kesiapan sistemik, langkah itu bisa dianggap spekulatif atau bahkan sembrono di mata investor dan mitra internasional. Hal ini bisa berdampak pada persepsi kredibilitas negara itu sendiri.
Jadi, meskipun peluangnya sangat menjanjikan, langkah menjadikan Bitcoin sebagai bagian dari cadangan negara tetap harus dilakukan dengan strategi jangka panjang, kesiapan hukum, dan pemahaman mendalam terhadap risiko yang menyertainya.
Kesimpulan: Stabilitas Tetap Prioritas, Tapi Inovasi Tak Bisa Dihindari
Cadangan devisa, atau yang kita kenal dengan istilah cadev, bukan sekadar angka besar di laporan keuangan negara. Ia adalah fondasi stabilitas ekonomi nasional—penopang nilai tukar rupiah, jaminan pembayaran utang luar negeri, serta pengaman likuiditas untuk kebutuhan impor.
Di tahun 2025, posisi cadev Indonesia yang mencapai USD?152 miliar menunjukkan bahwa Bank Indonesia masih mampu menjaga ketahanan moneter di tengah tantangan global. Kestabilan ini memberi ruang bagi pemerintah untuk fokus pada pemulihan ekonomi dan pertumbuhan jangka panjang.
Namun di sisi lain, dunia keuangan sedang berubah. Bitcoin yang dulunya dianggap spekulatif, kini mulai dilirik sebagai aset strategis oleh beberapa negara. Baik Amerika Serikat, Bhutan, hingga Pakistan sudah melangkah lebih jauh—menjadikannya bagian dari cadangan negara, entah secara formal atau melalui entitas strategis.
Apakah Indonesia harus ikut? Jawabannya tidak sesederhana ya atau tidak. Yang jelas, wacana ini tidak bisa diabaikan. Dunia tidak lagi sepenuhnya dikendalikan oleh fiat currency dan kebijakan satu arah. Diversifikasi cadangan, termasuk ke aset digital, bisa jadi salah satu strategi jangka panjang jika dilakukan dengan hati-hati, dukungan regulasi kuat, dan kesiapan infrastruktur.
Buat kamu sebagai pembaca, penting untuk memahami bahwa stabilitas ekonomi dan inovasi digital bukan dua kutub yang saling menegasikan. Justru di masa depan, kekuatan ekonomi suatu negara akan bergantung pada kemampuannya menjaga keseimbangan antara keduanya.
Cadev hari ini mungkin masih berupa dolar dan emas. Tapi siapa tahu, dalam satu dekade ke depan—Bitcoin dan aset digital lain bisa jadi bagian dari percakapan utama di neraca keuangan negara.
Itulah informasi menarik tentang “Cadev adalah cadangan devisa” yang bisa kamu eksplorasi lebih dalam di artikel Akademi crypto di INDODAX. Selain memperluas wawasan investasi, kamu juga bisa terus update dengan berita crypto terkini dan pantau langsung pergerakan harga aset digital di INDODAX Market. jangan lupa aktifkan notifikasi agar kamu selalu mendapatkan informasi terkini seputar aset digital dan teknologi blockchain hanya di INDODAX Academy.
Kamu juga dapat mengikuti berita terbaru kami melalui Google News untuk akses informasi yang lebih cepat dan terpercaya. Untuk pengalaman trading yang mudah dan aman, download aplikasi crypto terbaik dari INDODAX di App Store atau Google Play Store.
Maksimalkan juga aset kripto kamu dengan fitur INDODAX Earn, cara praktis untuk mendapatkan penghasilan pasif dari aset yang kamu simpan.
Ikuti juga sosial media kami di sini: Instagram, X, Youtube & Telegram
FAQ
1. Apa itu cadev dan kenapa penting untuk ekonomi?
Cadev adalah cadangan devisa—aset luar negeri yang disimpan bank sentral untuk menjaga kestabilan nilai tukar, membayar utang, dan mendukung kegiatan impor.
2. Berapa besar cadangan devisa Indonesia saat ini?
Per Juli 2025, nilainya adalah USD?152,0 miliar, cukup untuk membiayai impor lebih dari 6 bulan dan menjaga kepercayaan investor.
3. Apakah Bank Indonesia menyimpan Bitcoin?
Hingga 2025, belum. Tapi sudah ada diskusi strategis di level pemerintahan untuk eksplorasi.
4. Negara mana saja yang sudah menjadikan Bitcoin sebagai reserve?
Beberapa di antaranya: Amerika Serikat, Bhutan, Pakistan, dan El Salvador. Brazil sedang menggodok legislasi.
5. Apa tantangan menjadikan Bitcoin sebagai cadangan devisa?
Volatilitas tinggi, belum adanya standar internasional, serta risiko reputasi yang bisa memengaruhi stabilitas pasar.