Kenapa Sistem Bagi Hasil 60:40 Jadi Perbincangan?
Di tengah semakin berkembangnya ekonomi syariah dan munculnya berbagai instrumen keuangan digital, istilah bagi hasil 60:40 sering kali muncul di masyarakat. Banyak yang menganggap angka 60:40 adalah aturan baku dalam sistem syariah. Padahal, kenyataannya jauh lebih fleksibel dan bisa berubah sesuai akad maupun kondisi ekonomi.
Menariknya, di tahun 2025 ada banyak perubahan penting: regulasi fintech syariah sedang diperbarui, bank syariah mengubah nisbah secara berkala, dan industri kripto di Indonesia kini berada di bawah pengawasan OJK. Semua hal ini membuat pertanyaan klasik “siapa sebenarnya yang lebih cuan dalam skema 60:40?” jadi semakin relevan untuk dibahas.
Apa Itu Sistem Bagi Hasil 60:40?
Sebelum membahas lebih jauh, kamu perlu memahami dulu makna dasar dari sistem bagi hasil ini. Dalam ekonomi syariah, bagi hasil merupakan kesepakatan antara pemilik modal (shahibul maal) dan pengelola modal (mudharib) untuk berbagi keuntungan maupun kerugian usaha. Rasio 60:40 hanyalah salah satu contoh yang populer.
Misalnya, jika seorang investor menanam modal dalam usaha sebesar Rp100 juta, kemudian usaha itu menghasilkan keuntungan Rp100 juta, maka pembagian bisa dilakukan dengan pola 60% untuk pengelola usaha dan 40% untuk pemodal. Tetapi angka ini bukan ketentuan mutlak, karena bisa saja akad disepakati 70:30 atau 50:50.
Dengan kata lain, sistem ini lebih menekankan prinsip kesepakatan dan keadilan, bukan angka pasti. Setelah memahami definisinya, pertanyaan berikutnya muncul: bagaimana mekanisme sistem ini bekerja dalam praktik?
Bagaimana Mekanismenya Bekerja?
Dalam praktiknya, sistem bagi hasil harus dituangkan dalam perjanjian atau akad yang jelas. Ada dua metode umum yang digunakan:
- Profit Sharing – pembagian keuntungan berdasarkan laba bersih, yaitu pendapatan setelah dikurangi biaya operasional.
- Revenue Sharing – pembagian keuntungan dari pendapatan kotor, sebelum dipotong biaya-biaya lain.
Contohnya, kamu berinvestasi di usaha katering dengan kesepakatan 60:40. Jika laba bersih usaha mencapai Rp100 juta, pemilik modal mendapat Rp40 juta sementara pengelola usaha mendapat Rp60 juta. Tapi jika sistem yang digunakan adalah revenue sharing, maka pembagian bisa berbeda karena hitungannya langsung dari pendapatan kotor.
Perbedaan metode ini sangat menentukan jumlah yang diterima masing-masing pihak. Karena itulah, memahami mekanismenya penting supaya tidak ada kesalahpahaman di kemudian hari. Dari sini kita bisa lanjut melihat bagaimana kondisi terbaru di 2025 ikut membentuk praktik sistem bagi hasil.
Update 2025: Apa yang Berubah di Dunia Syariah?
Banyak yang masih berpikir nisbah 60:40 adalah angka saklek. Faktanya, bank syariah di Indonesia sering melakukan penyesuaian nisbah sesuai kondisi ekonomi. Misalnya, ada bank yang menurunkan nisbah tabungan dari 3,60% menjadi 2,50% atau bahkan menetapkan nisbah baru di atas 10% untuk produk tertentu.
Selain itu, asosiasi fintech syariah juga sedang berkoordinasi dengan Dewan Syariah Nasional untuk menyesuaikan aturan bagi hasil di sektor digital. Artinya, skema pembagian keuntungan tidak hanya fleksibel di bank, tapi juga di industri fintech.
Kondisi ini menunjukkan bahwa bagi hasil bukan sistem kaku. Ia terus beradaptasi mengikuti perubahan pasar, regulasi, dan kebutuhan nasabah, mirip dengan bagaimana aturan OJK terbaru tentang kripto ikut memengaruhi ekosistem digital. Nah, pertanyaannya, bagaimana kalau prinsip ini dicoba diterapkan di dunia kripto yang saat ini sedang tumbuh pesat?
Bisakah Konsep 60:40 Dipakai di Kripto?
Di ranah kripto, konsep yang mirip dengan bagi hasil sebenarnya sudah ada, meski tidak disebut nisbah. Contohnya adalah staking atau liquidity pool, di mana pengguna menitipkan aset dan mendapatkan imbal hasil berupa reward.
Platform seperti exchange lokal menyediakan fitur ini dengan imbalan yang dihitung dalam bentuk persentase tahunan (APY), sama halnya ketika kamu memanfaatkan staking crypto di Indodax untuk memperoleh reward. Namun, reward staking berbeda dengan nisbah bagi hasil. Nisbah disepakati sejak awal dan berlaku adil atas keuntungan maupun kerugian. Sementara staking lebih menyerupai distribusi reward berdasarkan jumlah token dan kondisi jaringan, tanpa menanggung kerugian usaha pengelola platform.
Kalau seandainya sistem 60:40 diterapkan di staking, misalnya pemilik aset mendapat 60% reward dan platform mengambil 40%, pertanyaan besar muncul: bagaimana jika harga aset turun drastis? Apakah risiko juga ditanggung bersama? Inilah tantangan utama jika konsep syariah dibawa ke dunia kripto.
Risiko dan Tantangan Sistem Bagi Hasil
Setiap sistem kerja sama pasti membawa risiko, begitu juga dengan skema bagi hasil. Pada tataran syariah, tantangan yang sering muncul biasanya terkait transparansi laporan keuangan, fluktuasi pendapatan usaha, hingga potensi konflik akibat ketidakjujuran. Misalnya, pemilik modal bisa merasa dirugikan kalau pengelola tidak jujur dalam mencatat biaya operasional. Sebaliknya, pengelola bisa merasa terbebani kalau pemilik modal terlalu menuntut hasil tanpa memahami risiko bisnis.
Selain itu, model bagi hasil juga menimbulkan ketidakpastian pendapatan. Tidak ada jaminan keuntungan tetap setiap bulan seperti bunga bank. Bagi sebagian orang, hal ini bisa jadi kelemahan, tapi justru di situlah nilai keadilannya: keuntungan dibagi sesuai performa usaha, bukan angka yang dipatok di awal.
Ketika dibawa ke ranah kripto, risikonya jadi lebih kompleks. Harga aset kripto bisa berfluktuasi dalam hitungan menit, membuat perhitungan keuntungan dan kerugian jauh lebih rumit. Kalau sistem 60:40 benar-benar diterapkan, siapa yang menanggung kerugian saat harga token anjlok? Apakah investor ikut menanggung, atau platform hanya membagikan reward ketika ada keuntungan? Pertanyaan ini belum punya jawaban pasti.
Belum lagi soal regulasi baru di bawah OJK. Per Januari 2025, seluruh aset kripto resmi berada dalam pengawasan OJK. Artinya, skema bagi hasil dalam kripto harus mengikuti standar pelaporan yang jauh lebih ketat. Platform tidak bisa sembarangan mengumumkan “hasil bagi 60:40” tanpa dasar yang jelas, karena bisa dianggap menyalahi aturan distribusi imbal hasil.
Ada juga risiko moral hazard. Dalam bisnis syariah, pengelola bisa saja sengaja memperbesar biaya untuk menekan keuntungan sehingga bagi hasil ke pemodal jadi lebih kecil. Dalam kripto, hal serupa bisa muncul lewat praktik manipulasi fee atau pengelolaan dana staking yang tidak transparan.
Meski penuh tantangan, bukan berarti sistem ini tidak mungkin berhasil. Kuncinya ada pada kejelasan akad, kejujuran pengelolaan, serta dukungan regulasi yang kuat, sama halnya dengan strategi menjaga risiko dalam investasi aset kripto untuk pemula. Dengan kombinasi itu, sistem bagi hasil bisa menjadi instrumen yang adil sekaligus berdaya saing.
Karena itu, sebelum kamu memutuskan untuk ikut dalam skema bagi hasil—baik di bisnis syariah maupun produk kripto—pastikan kamu memahami risiko-risiko ini. Memahami tantangan bukan untuk membuatmu takut, tapi agar keputusanmu lebih bijak dan sesuai dengan profil risiko yang kamu miliki.
Siapa Sebenarnya yang Lebih Cuan?
Pertanyaan ini memang jadi inti dari sistem bagi hasil: siapa yang lebih diuntungkan, pemodal atau pengelola? Jawabannya tentu tidak sesederhana angka di atas kertas.
Dari sisi pemodal, keuntungan bisa terasa besar ketika usaha yang dijalankan sukses. Dengan modal yang relatif pasif, kamu tetap bisa menerima bagian keuntungan sesuai kesepakatan, misalnya 40% dari laba bersih. Namun, ada konsekuensi yang harus kamu terima: kalau usaha rugi, modalmu juga ikut terancam. Inilah risiko yang sering membuat pemodal merasa “tidak selalu cuan” meski secara teori pembagian hasil terlihat adil.
Sebaliknya, dari sisi pengelola usaha, porsi 60% biasanya diberikan karena mereka menanggung beban operasional sehari-hari. Pengelola harus mengurus strategi bisnis, sumber daya, hingga risiko kegagalan. Memang secara nominal bagian mereka bisa lebih besar, tetapi itu sebanding dengan tanggung jawab dan tekanan yang mereka hadapi. Dengan kata lain, cuan yang lebih besar bukan hadiah, melainkan kompensasi atas kerja keras dan risiko lebih tinggi.
Ketika model ini dibawa ke kripto, dinamika berubah. Platform exchange cenderung lebih stabil dalam mendapatkan cuan karena mereka mengandalkan fee dan komisi yang sifatnya tetap. Misalnya, setiap transaksi yang kamu lakukan dikenakan biaya tertentu, sehingga platform tetap memperoleh pemasukan meskipun harga kripto sedang jatuh. Sementara itu, investor atau pengguna yang ikut staking menanggung risiko fluktuasi harga aset. Imbal hasil staking bisa terlihat menarik, tapi nilainya bisa tergerus jika harga token anjlok.
Jika dibandingkan, posisi platform kripto mirip dengan pengelola usaha dalam sistem syariah. Mereka mendapatkan bagian lebih stabil karena mengendalikan infrastruktur. Sementara investor lebih menyerupai pemodal yang menaruh dana: ada potensi cuan besar, tapi juga risiko kehilangan modal.
Jadi, siapa sebenarnya yang lebih cuan? Jawabannya sangat bergantung pada peran yang kamu ambil. Kalau kamu pemodal, cuan datang dengan risiko kehilangan modal. Kalau kamu pengelola atau platform, cuan lebih konsisten tapi ditukar dengan tanggung jawab besar. Tidak ada jawaban mutlak, tetapi justru di sinilah letak keadilan sistem bagi hasil: kedua pihak sama-sama punya peluang dan beban.
Kesimpulan: Bagi Hasil 60:40 Bukan Sekadar Angka
Kalau kita tarik benang merah dari semua pembahasan, jelas bahwa sistem bagi hasil 60:40 hanyalah simbol, bukan aturan baku. Di atas kertas, ia terlihat sederhana: satu pihak dapat 60%, pihak lain 40%. Tapi realitas di lapangan jauh lebih dinamis. Bank syariah bisa mengubah nisbah sesuai kondisi pasar, fintech syariah sedang menata ulang regulasi, dan industri kripto kini masuk radar pengawasan OJK. Semua perubahan ini menunjukkan bahwa angka hanyalah permukaan; yang lebih penting adalah mekanisme di baliknya.
Bagi kamu yang mungkin sedang menimbang ikut sistem bagi hasil—baik di bisnis syariah maupun di produk digital seperti staking—pelajaran utamanya adalah ini: adil atau tidaknya sebuah sistem tidak ditentukan oleh persentase, melainkan oleh transparansi, kejujuran, dan komitmen dalam berbagi risiko.
Ingat, dalam bisnis syariah pemodal memang bisa menikmati cuan pasif, tapi tetap ada risiko modal berkurang. Di sisi lain, pengelola bisa mendapat porsi lebih besar, tapi itu sepadan dengan tanggung jawab operasional yang mereka pikul. Sama halnya di kripto: investor bisa meraup reward, tapi platform yang menyediakan infrastruktur justru lebih konsisten mendapatkan keuntungan.
Jadi, siapa yang lebih cuan? Jawabannya bukan sekadar siapa yang dapat angka lebih besar, tapi siapa yang lebih siap menanggung konsekuensi dari pilihan perannya. Kalau kamu pemodal, pahami risiko modal. Kalau kamu pengelola, pahami beban tanggung jawab. Kalau kamu pemain kripto, pahami volatilitas aset.
Pada akhirnya, bagi hasil 60:40 adalah pelajaran tentang keseimbangan: keuntungan selalu beriringan dengan risiko, dan kemitraan hanya bisa sehat jika dibangun di atas kejujuran. Bukan angka yang membuatmu sukses, melainkan cara kamu memahami, mengelola, dan menjaga komitmen dalam setiap akad.
Itulah informasi menarik tentang sistem bagi hasil 60 40 yang bisa kamu eksplorasi lebih dalam di artikel Akademi crypto di INDODAX. Selain memperluas wawasan investasi, kamu juga bisa terus update dengan berita crypto terkini dan pantau langsung pergerakan harga aset digital di INDODAX Market.
Untuk pengalaman trading yang lebih personal, jelajahi juga layanan OTC trading kami di INDODAX. Jangan lupa aktifkan notifikasi agar kamu selalu mendapatkan informasi terkini seputar aset digital, teknologi blockchain, dan berbagai peluang trading lainnya hanya di INDODAX Academy.
Kamu juga dapat mengikuti berita terbaru kami melalui Google News untuk akses informasi yang lebih cepat dan terpercaya. Untuk pengalaman trading yang mudah dan aman, download aplikasi crypto terbaik dari INDODAX di App Store atau Google Play Store.
Maksimalkan juga aset kripto kamu dengan fitur INDODAX Earn, cara praktis untuk mendapatkan penghasilan pasif dari aset yang kamu simpan. Segera register di INDODAX dan lakukan KYC dengan mudah untuk mulai trading crypto lebih aman, nyaman, dan terpercaya!
Ikuti juga sosial media kami di sini: Instagram, X, Youtube & Telegram
FAQ
1. Apa itu sistem bagi hasil 60:40?
Sebuah mekanisme pembagian keuntungan antara pemilik modal dan pengelola usaha dengan porsi 60% dan 40% sesuai akad.
2. Kenapa disebut adil dalam syariah?
Karena keuntungan dibagi sesuai kesepakatan, sementara kerugian juga ditanggung bersama sesuai kontribusi.
3. Apakah 60:40 wajib dipakai di bank syariah?
Tidak. Nisbah bisa berubah mengikuti kondisi pasar dan produk yang ditawarkan bank.
4. Bisakah sistem ini diterapkan di kripto?
Belum ada skema resmi. Saat ini yang ada hanyalah staking atau liquidity pool dengan reward berbasis token, bukan nisbah.
5. Siapa lebih untung dalam skema 60:40?
Pemodal bisa untung besar jika usaha berhasil, tapi pengelola biasanya mendapat porsi lebih karena menanggung risiko operasional.
6. Apa bedanya bagi hasil dengan bunga bank?
Bunga bank bersifat tetap, sementara bagi hasil bergantung pada hasil usaha yang sesungguhnya.