Di tengah fluktuasi market yang makin sulit ditebak, kamu butuh strategi investasi yang bukan cuma ikut-ikutan tren, tapi bisa mengelola risiko dengan cerdas. Nah, dua pendekatan yang sering dibandingkan adalah Risk Parity dan portofolio biasa (misalnya 60/40 atau alokasi manual). Pasar keuangan di tahun 2025 ini menunjukkan ketidakpastian yang semakin tinggi, dengan volatilitas yang meningkat di berbagai kelas aset, mulai dari saham, obligasi, hingga kripto. Dalam situasi seperti ini, kemampuan untuk mengukur dan mengelola risiko menjadi kunci keberhasilan investasi jangka panjang.
Banyak investor pemula hingga berpengalaman masih bingung saat memilih pendekatan portofolio yang tepat. Pertanyaannya sederhana: manakah strategi yang bisa memberikan keuntungan lebih optimal sambil tetap menjaga risiko pada level yang nyaman? Apakah Risk Parity dengan segala kompleksitasnya benar-benar lebih unggul dibanding pendekatan tradisional? Yuk, kita bahas lengkap!
Apa Itu Risk Parity?
Sebelum membandingkannya, kamu perlu paham dulu apa yang dimaksud dengan Risk Parity secara konsep. Risk Parity bukanlah pendekatan baru sebenarnya strategi ini mulai populer setelah krisis finansial 2008, ketika banyak portofolio tradisional mengalami kerugian besar.
Risk Parity adalah strategi alokasi aset yang berfokus pada distribusi risiko, bukan distribusi modal. Prinsip dasarnya sederhana namun revolusioner: alokasikan dana ke berbagai aset berdasarkan kontribusi risikonya, bukan berdasarkan jumlah nominal investasi. Dengan kata lain, kamu membagi risiko secara merata di seluruh portofolio, bukan uangnya.
Misalnya, jika saham memiliki volatilitas (risiko) tiga kali lebih tinggi dibanding obligasi, dalam Risk Parity kamu akan mengalokasikan dana ke obligasi sekitar tiga kali lebih banyak dibanding saham. Ini berbeda dengan portofolio tradisional yang mungkin menempatkan 60% ke saham dan 40% ke obligasi tanpa mempertimbangkan profil risiko masing-masing.
Data dari Bridgewater Associates perusahaan yang mempopulerkan konsep ini melalui All Weather Fund mereka menunjukkan bahwa pendekatan Risk Parity telah memberikan rata-rata return tahunan sekitar 7.8% selama periode 1996-2024, dengan volatilitas yang jauh lebih rendah dibanding portofolio tradisional.
Tujuan utama Risk Parity bukanlah mengejar return tertinggi, melainkan menciptakan portofolio yang konsisten dan tahan banting di berbagai kondisi pasar. Ray Dalio, pendiri Bridgewater, menyebutnya sebagai “portofolio untuk segala musim” karena kemampuannya bertahan di berbagai siklus ekonomi.
Nah, kalau kamu sudah mulai kebayang soal Risk Parity, sekarang kita lihat dulu portofolio yang biasa dipakai banyak investor.
Apa Itu Portofolio Biasa (60/40 dan Konvensional)?
Di sisi lain, banyak investor masih menggunakan pendekatan klasik seperti portofolio 60/40 atau versi manual lain yang mereka rancang sendiri. Pendekatan ini telah menjadi semacam “standar emas” dalam dunia investasi selama beberapa dekade terakhir.
Portofolio 60/40 adalah struktur investasi dimana 60% dana dialokasikan ke saham (biasanya melalui indeks seperti IHSG atau ETF) dan 40% sisanya ke instrumen fixed income seperti obligasi pemerintah atau korporasi. Filosofinya adalah saham memberikan pertumbuhan jangka panjang yang lebih tinggi, sementara obligasi memberikan pendapatan tetap dan stabilitas.
Di kalangan investor ritel, terutama generasi milenial dan Gen Z, kita juga melihat variasi portofolio konvensional lainnya. Contohnya seperti alokasi 70% ke kripto dan 30% ke stablecoin, atau kombinasi reksa dana saham dengan instrumen pasar uang. Pendekatan ini sangat bergantung pada preferensi risiko dan horizon investasi individual.
Kelebihan utama portofolio biasa adalah kesederhanaannya. Kamu tidak perlu perhitungan kompleks atau pemahaman mendalam tentang korelasi antar aset. Cukup tentukan persentase untuk masing-masing kelas aset, lalu rebalancing secara berkala (biasanya setiap 6-12 bulan).
Namun, kekurangan mendasar dari pendekatan ini adalah risiko yang tidak terdistribusi secara merata. Dalam portofolio 60/40 klasik, meskipun secara nominal 60% ada di saham dan 40% di obligasi, kenyataannya sekitar 80-90% risiko portofolio berasal dari komponen saham karena volatilitasnya yang jauh lebih tinggi. Ini menjadikan portofolio sangat rentan terhadap crash pasar saham, seperti yang terjadi pada Maret 2020 saat pandemi COVID-19.
Sekarang saatnya kita taruh dua pendekatan ini di meja dan lihat bagaimana performa serta risikonya.
Artikel menarik lainnya untuk kamu: Manajemen Risiko: Pengertian, Jenis & Contohnya
Risk Parity vs Portofolio Biasa: Mana Lebih Tangguh?
Perbandingan ini penting untuk kamu yang ingin bikin portofolio tahan banting bukan cuma di atas kertas, tapi juga di kondisi nyata. Untuk melihat perbandingan keduanya secara lebih jelas, mari kita lihat tabel berikut:
Aspek | Risk Parity | Portofolio Biasa |
Dasar alokasi | Berdasarkan risiko (volatilitas) | Berdasarkan modal |
Kinerja saat pasar gejolak | Lebih stabil | Bisa sangat fluktuatif |
Cocok untuk siapa | Investor yang serius kelola risiko | Investor pemula yang suka sederhana |
Bisa dipakai di kripto? | Ya, dengan modifikasi | Ya, tapi lebih berisiko |
Butuh alat bantu? | Ya (contoh: Riskfolio, Python, Excel) | Tidak terlalu |
Performa saat inflasi tinggi | Lebih baik (karena diversifikasi) | Lebih rentan |
Kompleksitas pengelolaan | Moderat hingga tinggi | Rendah |
Biaya transaksi | Potensial lebih tinggi (rebalancing lebih sering) | Relatif lebih rendah |
Data dari AQR Capital Management menunjukkan bahwa selama periode 2000-2023, strategi Risk Parity menghasilkan Sharpe Ratio (pengukuran return disesuaikan risiko) sebesar 0.85, dibandingkan dengan 0.42 untuk portofolio 60/40 tradisional. Ini menunjukkan bahwa untuk setiap unit risiko yang diambil, Risk Parity menghasilkan return hampir dua kali lipat.
Studi dari Hedgewise, platform manajemen portofolio otomatis, juga menunjukkan bahwa selama periode drawdown pasar 2022, portofolio Risk Parity mereka hanya mengalami penurunan sekitar 12%, dibandingkan dengan 18-20% untuk portofolio 60/40 standar.
Dalam konteks kripto, penerapan Hierarchical Risk Parity (HRP) variasi dari Risk Parity klasik pada portofolio yang terdiri dari BTC, ETH, dan altcoin utama menunjukkan penurunan volatilitas hingga 25% dibanding alokasi berdasarkan kapitalisasi pasar, sambil mempertahankan tingkat return yang serupa.
Kalau dilihat dari performa dan stabilitas, Risk Parity punya banyak keunggulan. Tapi bukan berarti cocok untuk semua orang. Beberapa investor mungkin lebih menyukai kesederhanaan portofolio biasa, terutama jika mereka tidak ingin berurusan dengan kompleksitas penghitungan risiko atau akses ke alat analisis yang diperlukan.
Risiko dan Tantangan Masing-Masing Strategi
Tapi sebelum kamu memutuskan strategi mana yang akan dipakai, penting juga untuk tahu potensi risikonya. Meski sama-sama punya kelebihan, kedua pendekatan ini juga memiliki kelemahan yang perlu kamu waspadai.
Risiko dan Tantangan Risk Parity
Risk Parity memiliki kompleksitas yang lebih tinggi. Kamu perlu memahami konsep volatilitas, korelasi antar aset, dan bagaimana menghitung kontribusi risiko. Ini bisa menjadi hambatan bagi investor pemula atau mereka yang tidak memiliki latar belakang kuantitatif.
Strategi ini juga membutuhkan data historis yang cukup dan alat bantu analisis. Tanpa software seperti Riskfolio-Lib, Python dengan library seperti pandas, atau setidaknya spreadsheet yang terstruktur, kamu akan kesulitan menerapkan Risk Parity secara akurat.
Selain itu, karena fokusnya pada pengelolaan risiko, Risk Parity bisa tertinggal saat terjadi bull market ekstrem. Misalnya pada 2020-2021 ketika pasar saham teknologi melambung tinggi, portofolio 60/40 dengan konsentrasi besar pada saham teknologi bisa menghasilkan return jauh lebih tinggi dibanding Risk Parity yang lebih konservatif.
Terakhir, Risk Parity cenderung menggunakan leverage (utang) untuk meningkatkan return pada aset berisiko rendah seperti obligasi. Ini menambahkan kompleksitas dan risiko tambahan yang perlu dikelola dengan hati-hati.
Risiko dan Tantangan Portofolio Biasa
Portofolio biasa, seperti strategi 60/40, terlalu bergantung pada satu atau dua aset dominan. Seperti dijelaskan sebelumnya, meskipun 40% modal ada di obligasi, kontribusi risiko saham bisa mencapai 80-90% dari total risiko portofolio.
Pendekatan ini juga sangat rentan terhadap drawdown (penurunan) besar pada kelas aset utama. Misalnya pada 2022, ketika saham dan obligasi sama-sama mengalami penurunan signifikan, portofolio 60/40 mengalami tahun terburuknya dalam beberapa dekade dengan penurunan mencapai 16-20%.
Untuk investor yang menggunakan variasi portofolio biasa dengan alokasi tinggi ke kripto, risikonya bahkan lebih besar karena korelasi antar aset kripto yang tinggi saat pasar turun. Saat Bitcoin turun, hampir semua altcoin ikut turun dengan persentase yang bahkan lebih besar.
Poin lain yang sering diabaikan adalah portofolio biasa biasanya tidak mempertimbangkan perubahan kondisi pasar. Misalnya, alokasi 60% ke saham mungkin masuk akal saat valuasi pasar saham wajar, tapi terlalu agresif saat valuasi sangat tinggi (seperti awal 2022) atau terlalu konservatif saat valuasi rendah (seperti Maret 2020).
Jadi sebenarnya, pilihan terbaik tergantung pada gaya investasimu dan tujuan jangka panjang. Jika kamu lebih mementingkan kesederhanaan dan tidak keberatan dengan volatilitas yang lebih tinggi, portofolio biasa mungkin lebih cocok. Tapi jika kamu menginginkan pendekatan yang lebih seimbang dari segi risiko, Risk Parity patut dipertimbangkan.
Cara Menerapkan Risk Parity untuk Portofolio Kripto
Kalau kamu tertarik mencoba Risk Parity untuk aset kripto, ada beberapa pendekatan yang bisa dilakukan. Pasar kripto memiliki karakteristik unik volatilitas tinggi, korelasi dinamis, dan risiko idiosinkratik yang besar sehingga penerapan Risk Parity di sini memerlukan modifikasi.
Langkah pertama adalah mengidentifikasi kelas aset kripto berdasarkan profil risikonya. Secara umum, kamu bisa membaginya menjadi:
- Aset berisiko rendah: Stablecoin (USDT, USDC, BUSD)
- Aset berisiko menengah: Blue-chip crypto (BTC, ETH)
- Aset berisiko tinggi: Altcoin layer-1 (SOL, ADA, AVAX)
- Aset berisiko sangat tinggi: Altcoin kecil dan token DeFi
Selanjutnya, kamu perlu mengukur volatilitas historis masing-masing aset. Ini bisa dilakukan dengan menghitung standar deviasi return harian selama periode tertentu (misalnya 90 hari terakhir). Semakin tinggi volatilitasnya, semakin kecil alokasinya.
Sebagai contoh sederhana, jika BTC memiliki volatilitas 70% per tahun, ETH 90%, dan SOL 120%, sementara stablecoin praktis 0%, maka alokasi berbasis risk parity mungkin terlihat seperti:
- Stablecoin: 35-40%
- BTC: 25-30%
- ETH: 20-25%
- SOL: 10-15%
Untuk menerapkan pendekatan ini secara lebih akurat, kamu bisa menggunakan beberapa tools:
- Riskfolio-Lib: Library Python yang dirancang khusus untuk optimasi portofolio
- Spreadsheet: Dengan formula standar deviasi dan korelasi
- Platform seperti Shrimpy atau 3Commas yang menawarkan fitur rebalancing otomatis
Yang membuat Risk Parity menarik untuk kripto adalah kemampuannya beradaptasi dengan perubahan volatilitas. Ketika BTC menjadi sangat volatil (misalnya selama market crash), alokasinya akan berkurang secara otomatis pada rebalancing berikutnya, melindungi portofoliomu dari penurunan lebih lanjut.
Satu hal yang perlu diperhatikan adalah frekuensi rebalancing. Di pasar tradisional, rebalancing biasanya dilakukan setiap 3-6 bulan. Namun untuk kripto, volatilitas yang jauh lebih tinggi mungkin memerlukan rebalancing bulanan atau bahkan mingguan. Tentu saja, ini harus diseimbangkan dengan biaya transaksi yang akan meningkat seiring frekuensi rebalancing.
Dengan pendekatan ini, portofoliomu bisa lebih seimbang bukan cuma dari sisi aset, tapi juga dari sisi risiko. Kamu tidak akan terlalu terekspos pada aset sangat volatil, namun tetap memiliki eksposur yang cukup untuk mendapatkan keuntungan saat pasar bullish.
Kamu mungkin tertarik dengan ini juga: Butterfly Spread: Strategi Minim Resiko untuk Trader Kripto
Kesimpulan
Setelah menganalisis kedua pendekatan ini, kita bisa melihat bahwa Risk Parity dan portofolio biasa memiliki kekuatan dan kelemahan masing-masing. Risk Parity unggul dalam hal kestabilan dan distribusi risiko yang lebih merata, sehingga lebih tahan banting menghadapi gejolak pasar. Data historis juga menunjukkan bahwa Risk Parity sering menghasilkan risk-adjusted return yang lebih baik.
Di sisi lain, portofolio biasa masih relevan untuk investor yang menginginkan kesederhanaan dalam pengelolaan investasi. Tidak semua orang memiliki waktu, pengetahuan, atau alat untuk menerapkan Risk Parity secara efektif. Portofolio 60/40 klasik juga telah terbukti memberikan hasil yang solid dalam jangka panjang, meskipun dengan volatilitas yang lebih tinggi.
Menariknya, kamu tidak harus memilih salah satu secara eksklusif. Kombinasi kedua pendekatan juga mungkin dilakukan, terutama untuk portofolio kripto. Misalnya, kamu bisa menerapkan Risk Parity untuk 70% portofolio, sementara 30% sisanya dikelola secara aktif dengan pendekatan konvensional untuk mengejar alpha (return di atas rata-rata pasar).
Yang terpenting, pilihlah strategi berdasarkan tujuan investasi dan toleransi risikomu. Jika kamu mengejar stabilitas dan konsistensi jangka panjang, Risk Parity mungkin lebih cocok. Namun jika kamu memiliki horizon investasi yang sangat panjang dan toleransi volatilitas tinggi, portofolio biasa dengan alokasi saham yang lebih besar bisa menjadi pilihan yang baik.
Ingatlah bahwa tidak ada strategi investasi yang sempurna untuk semua situasi. Pasar terus berevolusi, dan pendekatan terbaik adalah yang sesuai dengan kebutuhan finansialmu dan bisa kamu terapkan secara konsisten.
Itulah informasi menarik tentang Risk Parity yang bisa kamu eksplorasi lebih dalam di artikel Akademi crypto di INDODAX. Selain memperluas wawasan investasi, kamu juga bisa terus update dengan berita crypto terkini dan pantau langsung pergerakan harga aset digital di INDODAX Market. jangan lupa aktifkan notifikasi agar kamu selalu mendapatkan informasi terkini seputar aset digital dan teknologi blockchain hanya di INDODAX Academy.
Kamu juga dapat mengikuti berita terbaru kami melalui Google News untuk akses informasi yang lebih cepat dan terpercaya. Untuk pengalaman trading yang mudah dan aman, download aplikasi crypto terbaik dari INDODAX di App Store atau Google Play Store.
Maksimalkan juga aset kripto kamu dengan fitur INDODAX Earn, cara praktis untuk mendapatkan penghasilan pasif dari aset yang kamu simpan.
Ikuti juga sosial media kami di sini: Instagram, X, Youtube & Telegram
FAQ
1. Apakah Risk Parity cocok untuk investor pemula?
Risk Parity bisa cocok untuk investor pemula yang ingin pendekatan lebih terstruktur terhadap manajemen risiko, tapi kamu perlu belajar dasar-dasarnya dulu karena pendekatannya lebih teknis. Kuncinya adalah memahami konsep volatilitas, korelasi, dan kontribusi risiko. Sebagai pemula, kamu bisa mulai dengan versi sederhana dari Risk Parity, seperti mengalokasikan dana berbanding terbalik dengan volatilitas masing-masing aset, tanpa perlu perhitungan korelasi yang kompleks.
2. Bisa gak Risk Parity dipakai buat portofolio kripto?
Bisa banget! Bahkan Risk Parity bisa sangat bermanfaat untuk portofolio kripto mengingat volatilitasnya yang tinggi. Tapi kamu harus paham volatilitas masing-masing aset dan alokasinya harus fleksibel. Crypto memiliki volatilitas yang jauh lebih tinggi dibanding aset tradisional, jadi penyesuaian alokasi mungkin perlu dilakukan lebih sering. Kamu juga perlu mempertimbangkan stablecoin sebagai komponen “berisiko rendah” dalam portofolio, menggantikan peran obligasi di portofolio tradisional.
3. Lebih cuan mana, Risk Parity atau 60/40?
Nggak ada jawaban mutlak untuk pertanyaan ini. Risk Parity cenderung lebih stabil dan menghasilkan risk-adjusted return yang lebih baik dalam jangka panjang, tapi bisa kalah cuan di pasar bullish ekstrem. Data historis menunjukkan bahwa selama periode bull market panjang (seperti 2009-2019), portofolio 60/40 sering menghasilkan return nominal yang lebih tinggi karena alokasi saham yang lebih besar. Namun, ketika dihitung berdasarkan risk-adjusted return (Sharpe Ratio), Risk Parity biasanya lebih unggul, terutama saat melewati siklus pasar lengkap yang mencakup bull dan bear market.
4. Harus pakai alat khusus buat Risk Parity?
Tidak harus, tapi kalau kamu serius, tools seperti Riskfolio atau Python akan sangat membantu. Untuk versi sederhana, Excel dengan fungsi standar deviasi dan korelasi sudah cukup. Beberapa platform investasi juga mulai menawarkan fitur Risk Parity built-in, meskipun biasanya dengan nama berbeda seperti “Smart Portfolio” atau “Risk-Balanced Allocation”. Yang terpenting adalah konsistensi dalam mengukur dan mengelola risiko, bukan alat spesifik yang kamu gunakan.
5. Berapa sering sebaiknya rebalancing portofolio Risk Parity?
Frekuensi rebalancing optimal bergantung pada volatilitas aset dan biaya transaksi. Untuk portofolio tradisional (saham/obligasi), rebalancing setiap 3-6 bulan biasanya cukup. Untuk kripto yang lebih volatil, rebalancing bulanan mungkin diperlukan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pendekatan berbasis threshold (misalnya, rebalancing ketika alokasi menyimpang 5% atau lebih dari target) lebih efisien dibanding rebalancing berbasis waktu tetap.
6. Apa saja aset yang cocok untuk strategi Risk Parity?
Risk Parity bekerja paling baik dengan aset yang memiliki korelasi rendah atau negatif. Kombinasi ideal mencakup: saham (misalnya ETF indeks), obligasi pemerintah jangka panjang, komoditas (emas, minyak), dan mungkin real estate (REIT). Untuk kripto, diversifikasi bisa mencakup BTC, ETH, stablecoin, dan token dari berbagai sektor (DeFi, gaming, infrastruktur). Semakin beragam profil risiko aset-aset ini, semakin efektif strategi Risk Parity.
Author: RB