Saat kamu mendengar “money supply” meningkat, apa yang langsung terlintas di benak? Inflasi? Harga barang naik? Atau peluang emas di Bitcoin? Di tahun 2025, M2 money supply global kembali naik signifikan, sementara Bitcoin justru mencetak rekor harga baru. Korelasinya bukan sekadar angka, tapi bisa jadi sinyal penting buat kamu yang ingin lindungi nilai aset.
Dalam beberapa tahun terakhir, bank sentral di berbagai negara terus menambah jumlah uang beredar, sementara Bitcoin dengan pasokan terbatasnya justru semakin diminati sebagai instrumen investasi. Fenomena ini menciptakan pertanyaan menarik: manakah yang lebih efektif melindungi nilai kekayaanmu dari inflasi? Mari kita eksplorasi hubungan kompleks antara M2 money supply dan Bitcoin yang mungkin akan mengubah cara kamu memandang investasi di era digital.
Apa Itu M2 Money Supply dan Kenapa Penting?
Untuk memahami hubungan dengan Bitcoin, kamu perlu tahu dulu apa itu M2 money supply. Ini bukan sekadar istilah ekonomi ini indikator besar tentang bagaimana pemerintah mengelola uang beredar.
M2 money supply adalah salah satu ukuran paling komprehensif untuk mengukur jumlah uang yang beredar dalam perekonomian. Untuk memahami lebih lanjut tentang konsep money supply dan hubungannya dengan kripto, kamu bisa membaca artikel Mengenal Money Supply Global & Hubungannya Dengan Kripto. Berbeda dengan M1 yang hanya mencakup uang tunai dan rekening giro (checking accounts), M2 memiliki cakupan lebih luas dengan menambahkan tabungan, deposito berjangka di bawah $100.000, dan rekening pasar uang retail. Sementara itu, M3 mencakup semua dalam M2 plus deposito berjangka bernilai lebih besar dan dana institusional pasar uang.
Komponen M2 memberikan gambaran yang lebih akurat tentang likuiditas ekonomi. Ketika bank sentral seperti Federal Reserve di AS ingin menstimulasi ekonomi, mereka bisa meningkatkan M2 melalui kebijakan moneter ekspansif, seperti menurunkan suku bunga atau melakukan pembelian aset skala besar. Data terbaru menunjukkan peningkatan M2 global sebesar 7,37% year-over-year per April-Mei 2025, angka yang cukup signifikan dibandingkan rata-rata historis 5-6%.
Mengapa ini penting? Karena peningkatan M2 sering menjadi indikator awal inflasi yang akan datang. Untuk memahami lebih dalam tentang fenomena ini, kamu bisa membaca artikel Penyebab Inflasi: Faktor, Dampak, dan Cara Mengatasinya. Ketika terlalu banyak uang mengejar jumlah barang dan jasa yang relatif tetap, harga cenderung naik prinsip dasar inflasi. Bank sentral dipercaya untuk menjaga keseimbangan, namun ketika M2 tumbuh terlalu cepat, nilai mata uang fiat biasanya mengalami penurunan daya beli.
Nah, setelah tahu M2 mencerminkan banyaknya uang beredar, sekarang kamu pasti penasaran apa dampaknya ke Bitcoin?
Kenaikan M2 dan Lonjakan Harga Bitcoin: Kebetulan?
Beberapa bulan terakhir, M2 global dan harga Bitcoin seperti saling berpacu. Tapi apakah ini hanya kebetulan, atau ada benang merah di antara keduanya?
Data terkini menunjukkan tren yang menarik. Per Mei 2025, M2 Amerika Serikat mencapai sekitar $22 triliun, meningkat signifikan dari tahun sebelumnya. Pada periode yang sama, Bitcoin mencatatkan kenaikan harga hingga 75% year-over-year, menembus level psikologis $100.000. Ini bukan pertama kalinya kita melihat pola serupa.
Jika kita flashback ke periode 2020-2021, ketika pandemi COVID-19 memicu pencetakan uang masif, M2 di AS melonjak hampir 25% dalam setahun. Tidak lama kemudian, Bitcoin melesat dari sekitar $10.000 menjadi hampir $69.000 kenaikan 590% dalam periode yang sama. Pola serupa terjadi pada beberapa episode sebelumnya, meski tidak selalu dengan korelasi yang sempurna.
Apa yang menyebabkan fenomena ini? Para ekonom dan analis kripto mengatakan bahwa ketika investor melihat peningkatan tajam dalam money supply, mereka mulai mencari aset yang tahan inflasi. Bitcoin, dengan suplai maksimumnya yang tetap di 21 juta koin, dianggap sebagai salah satu bentuk lindung nilai (hedge) terhadap devaluasi mata uang fiat.
Sentimen ini terlihat jelas dari perilaku investor institusional. Pada kuartal pertama 2025, arus masuk dana ke Bitcoin ETF mencapai $12 miliar, dengan banyak manajer portofolio secara terbuka menyatakan kekhawatiran mereka tentang ekspansi M2 yang berkelanjutan. Michael Saylor, CEO MicroStrategy yang telah mengonversi sebagian besar cadangan kas perusahaannya ke Bitcoin, sering mengutip peningkatan M2 sebagai alasan utama dibalik strateginya.
“Ketika bank sentral mencetak lebih banyak uang, mereka secara eksplisit menyatakan niat untuk menurunkan nilai aset denominasi fiat,” kata Saylor dalam konferensi Bitcoin 2025 di Miami. “Bitcoin adalah jaringan moneter yang dirancang untuk melindungi pemegangnya dari devaluasi ini.”
Kalau benar M2 dan BTC punya hubungan kuat, berarti kamu harus siap karena arah money supply bisa jadi kompas tren harga kripto berikutnya.
Bitcoin Sebagai Aset Deflasi: Lawan Alami Money Supply
Di sisi lain, Bitcoin dirancang sebagai kebalikan dari sistem fiat yang bisa “mencetak uang seenaknya”. Inilah yang bikin dia spesial saat inflasi naik.
Salah satu karakteristik paling fundamental Bitcoin adalah batas maksimum 21 juta koin yang tidak akan pernah berubah. Saat ini, sekitar 19,5 juta Bitcoin telah ditambang, dengan sekitar 1,5 juta lagi yang akan dilepaskan secara bertahap hingga tahun 2140. Berbeda dengan mata uang fiat yang bisa ditambah jumlahnya melalui kebijakan bank sentral, Bitcoin memiliki jadwal penerbitan yang kaku dan tidak bisa dimanipulasi.
Karakteristik ini menjadikan Bitcoin sebagai “digital gold” dalam pandangan banyak investor. Seperti emas yang telah menjadi penyimpan nilai selama ribuan tahun karena kelangkaannya, Bitcoin dianggap memiliki potensi serupa di era digital mungkin bahkan lebih baik karena total supply-nya yang dapat diverifikasi secara matematis.
Proses “halving” Bitcoin di mana jumlah Bitcoin baru yang dihasilkan dari proses mining berkurang setengahnya setiap empat tahun semakin memperkuat narasi deflasi ini. Untuk memahami lebih lanjut tentang halving dan dampaknya, kamu bisa membaca artikel Halving Bitcoin: Apa Itu dan Pengaruhnya pada Harga?. Halving terakhir terjadi pada Mei 2024, yang mengurangi reward mining dari 3,125 menjadi 1,5625 BTC per blok. Ini berarti, meskipun permintaan meningkat, jumlah Bitcoin baru yang masuk ke pasar terus berkurang.
Kontras ini semakin terlihat jelas ketika dibandingkan dengan kebijakan moneter tradisional. Sementara M2 global tumbuh rata-rata 6-7% per tahun (dan kadang-kadang jauh lebih tinggi selama krisis), laju penciptaan Bitcoin justru menurun secara terprogram. Inilah yang membuat banyak ekonom menyebut Bitcoin sebagai “aset deflasi” dalam lingkungan ekonomi yang cenderung inflasi.
Raoul Pal, mantan eksekutif Goldman Sachs dan pendiri Real Vision, menjelaskan: “Bitcoin adalah satu-satunya aset di dunia dengan kurva penawaran yang diketahui dengan pasti. Tidak ada aset lain termasuk emas yang memiliki transparansi penawaran semacam ini.”
Kalau kamu ingin lindungi nilai jangka panjang, logika supply Bitcoin bisa jadi pertimbangan strategis yang tidak bisa diabaikan.
Risiko dan Strategi: Haruskah Kamu Pilih Bitcoin Saat M2 Naik?
Tapi tentu saja, semua peluang datang dengan risiko. Sebelum kamu ambil keputusan, kamu harus tahu apa yang sedang kamu hadapi.
Meskipun Bitcoin dapat berfungsi sebagai lindung nilai terhadap inflasi, volatilitasnya tetap menjadi risiko utama. Bahkan di tahun 2025 dengan adopsi institusional yang meningkat, Bitcoin masih bisa mengalami fluktuasi harga 10-15% dalam sehari. Selama periode bearish terakhir di akhir 2022, Bitcoin kehilangan lebih dari 70% nilainya dari puncaknya.
Kebijakan moneter juga bisa mempengaruhi harga Bitcoin secara tidak langsung. Ketika bank sentral mulai menaikkan suku bunga untuk melawan inflasi (disebut juga tapering), aset berisiko seperti Bitcoin sering tertekan karena investor beralih ke instrumen pendapatan tetap yang lebih aman dengan imbal hasil yang meningkat. Kita melihat ini terjadi pada 2022 ketika The Fed menaikkan suku bunga agresif, dan Bitcoin memasuki pasar bearish.
Untuk mengatasi volatilitas ini, strategi Dollar-Cost Averaging (DCA) menjadi semakin populer di kalangan investor Bitcoin. Strategi ini dijelaskan lebih lanjut dalam artikel Dollar Cost Averaging: Strategi Investasi Cerdas!. Alih-alih mencoba memprediksi pasar, investor berkomitmen untuk membeli Bitcoin dalam jumlah tetap secara berkala misalnya, $100 setiap minggu terlepas dari harga pasar. Pendekatan ini mengurangi dampak volatilitas jangka pendek dan memungkinkan investor untuk mengakumulasi aset secara bertahap.
“DCA adalah cara paling rasional untuk berinvestasi dalam aset yang sangat volatil yang kamu yakini akan naik dalam jangka panjang,” kata Andreas Antonopoulos, penulis dan pendidik Bitcoin terkemuka. “Ini menghilangkan stres mencoba memprediksi pasar dan membuat kamu fokus pada tesis investasi jangka panjang.”
Edukasi finansial juga menjadi kunci. Memahami korelasi antara kebijakan moneter dan harga aset, perbedaan fundamental antara mata uang fiat dan kripto, serta peran diversifikasi dalam portofolio investasi, sangat penting sebelum mengalokasikan dana ke Bitcoin.
Jadi, meskipun Bitcoin bisa jadi alternatif saat M2 naik, kamu tetap butuh strategi dan wawasan yang solid sebelum terjun.
Apa Kata Analis? Prediksi Bitcoin & Money Supply ke Depan
Bukan cuma spekulasi, banyak analis institusi besar sudah angkat bicara soal masa depan Bitcoin dan tren money supply.
Menurut laporan terbaru dari CoinCodex, Bitcoin diproyeksikan mencapai $146.000 pada akhir 2025. Untuk informasi lebih lanjut tentang prediksi harga Bitcoin, kamu bisa membaca artikel Prediksi Harga Bitcoin 2025-2030: Potensi Besar di Masa Depan. didorong oleh adopsi institusional yang berkelanjutan dan ekspansi monetar global. Standard Chartered bahkan lebih optimis dalam outlook Q2 2025 mereka, memprediksi Bitcoin akan menyentuh $120.000 lebih cepat dari yang diperkirakan, dengan M2 sebagai katalisator utama.
Fundstrat, firma riset yang dipimpin oleh Tom Lee, mempertahankan prediksi ambisius $250.000 per Bitcoin dalam jangka menengah, berdasarkan analisis hubungan historis antara ekspansi M2 dan kapitalisasi pasar kripto. “Setiap peningkatan 1% dalam M2 secara historis berkorelasi dengan kenaikan 2-3% dalam harga Bitcoin dengan lag 6-12 bulan,” tulis tim analis Fundstrat dalam laporan April 2025 mereka.
Bagaimana dengan outlook M2 sendiri? Ekonom dari institusi seperti JPMorgan dan Goldman Sachs memperkirakan M2 global akan terus tumbuh antara 5-8% per tahun hingga 2027, didorong oleh defisit fiskal yang terus membengkak di berbagai negara maju dan kebutuhan untuk menstimulasi pertumbuhan ekonomi pasca-pandemi.
Jerome Powell, Ketua Federal Reserve, dalam testimoni terbarunya di depan Kongres AS, mengisyaratkan bahwa meskipun inflasi tetap menjadi perhatian, bank sentral tidak akan tergesa-gesa dalam mengerem pertumbuhan M2. “Kami memantau dengan cermat dinamika money supply, tetapi juga harus mempertimbangkan dampak kebijakan moneter pada pertumbuhan ekonomi dan lapangan kerja,” katanya, memberikan sinyal bahwa ekspansi M2 kemungkinan akan berlanjut, meskipun pada laju yang lebih moderat.
Cathie Wood dari ARK Invest, yang terkenal dengan pandangan bullish-nya terhadap teknologi disruptif, berpendapat bahwa kombinasi ekspansi M2 dan adopsi institusional akan mendorong Bitcoin ke level yang belum pernah terjadi sebelumnya. “Bitcoin adalah jawaban matematis terhadap ekspansi moneter tak terbatas,” kata Wood dalam webinar bulan lalu.
Prediksi bisa meleset, tapi tren makro seperti M2 dan minat institusi memberi sinyal yang tak boleh kamu abaikan jika ingin memahami dinamika pasar kripto secara komprehensif.
Kesimpulan
Di tengah derasnya arus cetak uang global lewat M2, Bitcoin muncul sebagai alternatif yang langka, transparan, dan terdesentralisasi. Hubungan antara peningkatan money supply dan kenaikan harga Bitcoin telah menunjukkan korelasi yang cukup konsisten selama beberapa tahun terakhir, meskipun tidak selalu bergerak seiring dalam jangka pendek.
Bitcoin, dengan suplai maksimumnya yang tetap dan algoritma halving yang mengurangi laju penciptaan koin baru, menawarkan karakteristik anti-inflasi yang menarik saat M2 global terus meningkat. Namun, volatilitas yang melekat pada aset kripto tetap menjadi faktor risiko yang harus dipertimbangkan.
Strategi seperti dollar-cost averaging dan diversifikasi portofolio bisa membantu memitigasi risiko volatilitas, sementara pemahaman yang mendalam tentang hubungan antara kebijakan moneter dan pasar kripto akan memberimu keunggulan dalam mengambil keputusan investasi.
Apakah kamu harus ikut arus? Itu tergantung profil risikomu. Tapi satu hal pasti: tren makro tidak bisa diabaikan. M2 naik terus, dan Bitcoin makin jadi sorotan sebagai alternatif investasi di era ekspansi moneter.
Itulah pembahasan menarik tentang M2 Money Supply vs Bitcoin yang bisa kamu pelajari lebih dalam hanya di Akademi crypto. Tidak hanya menambah wawasan tentang investasi, di sini kamu juga dapat menemukan berita crypto terkini seputar dunia kripto.
Dan untuk pengalaman trading yang mudah dan aman, download aplikasi crypto terbaik dari INDODAX di App Store atau Google Play Store. Kamu juga bisa mulai beli Bitcoin, beli Ethereum, dan aset kripto lainnya dengan praktis hanya dalam genggaman di INDODAX Market.. Ikuti juga sosial media INDODAX di sini: Instagram, X, Youtube & Telegram
FAQ
1.Apa itu M2 money supply?
M2 mencakup uang tunai, tabungan, dan deposito jangka pendek. Ini merupakan ukuran komprehensif yang mencerminkan total uang beredar dalam perekonomian, termasuk uang tunai, rekening giro, tabungan, dan deposito berjangka di bawah $100.000.
2.Kenapa M2 penting bagi investor kripto?
Karena kenaikan M2 sering dikaitkan dengan inflasi. Bitcoin dengan pasokan tetapnya dianggap sebagai pelindung nilai karena supply-nya terbatas pada 21 juta koin. Ketika jumlah uang fiat meningkat tanpa batas, aset dengan pasokan terbatas seperti Bitcoin cenderung mengalami kenaikan nilai.
3.Apakah Bitcoin selalu naik saat M2 naik?
Tidak selalu, tapi ada korelasi kuat dalam periode tertentu terutama saat pelonggaran moneter besar-besaran. Faktor-faktor lain seperti regulasi, sentimen pasar, dan perkembangan teknologi juga mempengaruhi harga Bitcoin, sehingga korelasi dengan M2 tidak selalu langsung terlihat dalam jangka pendek.
4.Bagaimana cara lindungi aset saat M2 naik?
Beberapa investor memilih aset deflasi seperti emas atau Bitcoin, dan menerapkan strategi seperti DCA (Dollar-Cost Averaging). Diversifikasi portofolio juga penting, termasuk real estate, saham perusahaan dengan pricing power kuat, dan obligasi dengan penyesuaian inflasi (TIPS).
5.Apakah ini waktu tepat beli Bitcoin?
Keputusan investasi tergantung profil risiko kamu. Yang pasti, tren makro saat ini membuat banyak orang melirik Bitcoin lagi. Faktor-faktor seperti ekspansi M2, adopsi institusional yang meningkat, dan perkembangan regulasi positif bisa mendukung outlook jangka panjang Bitcoin, namun tetap lakukan riset mendalam dan konsultasikan dengan penasihat keuangan sebelum mengambil keputusan.
Author: RB