Bayangin kamu lagi ngobrol di warung kopi, terus ada yang nyeletuk, “Eh, gue lagi ikutan usaha bagi hasil 70:30.” Apa yang kebayang di kepala kamu? Buat sebagian orang, langsung teringat ke cerita klasik, pemilik sawah dan petani penggarap yang bagi hasil panen. Pemilik lahan dapat 70%, penggarap dapat 30%.
Sederhana. Tapi kalau kita lihat lebih luas, konsep ini nggak berhenti di sawah. Dunia usaha modern, bahkan blockchain dan kripto, juga menjalankan logika serupa.
Kenapa ini penting buat kamu? Karena sistem bagi hasil 70:30 bukan cuma angka, tapi cara kerja sama yang bisa bikin usaha jalan sehat atau malah jadi sumber konflik.
Dengan memahami konsep ini, kamu bisa lebih bijak menilai kerjasama bisnis, baik konvensional maupun digital. Jadi mari kita gali lebih dalam mulai dari asal-usul hingga bagaimana teknologi blockchain memberi nafas baru buat konsep lawas ini.
Apa Itu Sistem Bagi Hasil 70:30?
Secara sederhana, sistem bagi hasil adalah mekanisme pembagian keuntungan di mana satu pihak mendapat 70% dan pihak lain 30%. Porsi ini biasanya ditentukan oleh kontribusi: modal, tenaga, atau risiko yang ditanggung. Jadi, bukan sekadar siapa lebih kuat, tapi siapa yang lebih banyak menaruh “taruhan” dalam usaha.
Kalau kamu bandingkan dengan gaji bulanan, jelas beda. Gaji tetap cair meskipun perusahaan rugi. Tapi dalam bagi hasil, untung-rugi ditanggung bersama. Di sinilah letak keadilannya, karena setiap pihak punya insentif agar usaha benar-benar sukses.
Dari Bisnis Tradisional ke Startup
Model ini sudah lama hidup di masyarakat. Di pertanian, pemilik lahan dan penggarap sepakat berbagi hasil panen dengan porsi tertentu, sering kali 70:30. Dalam usaha patungan, investor bisa dapat 70% dari keuntungan karena dia yang menanggung risiko modal, sementara pengelola mendapat 30% karena kontribusinya di operasional.
Di dunia jasa, pola ini juga berlaku. Misalnya klinik yang bagi hasil 70% untuk dokter praktek dan 30% untuk pemilik klinik sebagai biaya fasilitas. Polanya sama: siapa yang punya kontribusi lebih besar akan mendapat porsi lebih besar pula.
Masuk ke era startup, model ini nggak hilang. Investor awal bisa menuntut porsi keuntungan lebih besar karena modal yang mereka tanam cukup berisiko.
Pendiri startup pun menerima porsi lebih kecil di awal, dengan harapan kepemilikan bisnis dan nilai jangka panjang tetap di tangan mereka. Jadi, meski medianya berbeda, logika di baliknya sama: membagi hasil sesuai kontribusi.
Cara Hitung Sistem 70:30
Untuk memahami lebih konkret, mari ambil contoh. Katakan sebuah usaha menghasilkan omzet Rp200 juta. Setelah dikurangi biaya operasional Rp80 juta, keuntungan bersih yang tersisa Rp120 juta.
Nah, angka inilah yang jadi dasar pembagian. Dengan sistem 70:30, pihak pertama mendapat Rp84 juta (70%), sedangkan pihak kedua Rp36 juta (30%).
Di sinilah pentingnya kejelasan kesepakatan: apakah pembagian dilakukan dari omzet kotor atau dari keuntungan bersih. Kalau tidak jelas dari awal, konflik bisa muncul. Makanya, kontrak atau perjanjian tertulis sangat penting agar kedua pihak merasa adil.
Kelebihan dan Kekurangan Skema Ini
Skema 70:30 punya daya tarik karena dianggap adil dan sederhana. Pihak yang menanggung beban lebih berat mendapat porsi lebih besar. Selain itu, sistem ini mendorong kolaborasi karena semua pihak berkepentingan agar usaha untung.
Tapi di balik itu ada kelemahan. Kalau kontribusi tidak seimbang tapi porsi tetap kaku, bisa muncul rasa tidak puas. Apalagi kalau tidak jelas apakah dasar perhitungan dari omzet atau profit. Di titik ini, komunikasi dan transparansi jadi kunci. Kalau di bisnis konvensional butuh akuntan, laporan keuangan, dan kesepakatan, maka di blockchain, transparansi bisa diprogram otomatis.
Masuknya Blockchain ke Dunia Bagi Hasil
Blockchain menawarkan cara baru yang lebih transparan dan efisien untuk menjalankan sistem seperti 70:30. Dengan smart contract, pembagian keuntungan bisa dieksekusi otomatis sesuai kode yang disepakati. Tidak ada ruang untuk manipulasi laporan karena semua transaksi tercatat di blockchain.
Bayangkan kamu ikut liquidity pool. Begitu transaksi terjadi, sistem otomatis memotong fee dan membagi hasil sesuai proporsi yang diatur. Kamu nggak perlu lagi khawatir laporan keuangan dimanipulasi atau ada biaya tersembunyi. Transparansi ini membuat blockchain jadi media baru yang sangat cocok untuk konsep bagi hasil.
Contoh Bagi Hasil 70:30 di Kripto
Begitu kita paham bagaimana smart contract bisa “mengunci” kesepakatan, langkah berikutnya adalah melihat seperti apa praktik 70:30 di berbagai skenario kripto.
Di bawah ini bukan sekadar contoh, tapi juga cara menghitungnya supaya kamu bisa menilai apakah skemanya fair buat kamu sebagai partisipan.
1) Staking (Proof-of-Stake) & Delegasi
Dalam jaringan PoS, validator menjalankan node dan menanggung biaya infrastruktur, sementara delegator menitipkan token pada validator untuk ikut mendapat staking reward. Umumnya ada validator commission anggap 30%. Artinya, dari total reward yang jatuh ke validator, 30% untuk validator, 70% untuk para delegator (proporsional terhadap jumlah stake).
Ilustrasi cepat: Kamu delegasi 10.000 token ke validator dengan APR jaringan 8%. Secara kotor, estimasi reward setahun ? 800 token. Jika komisi validator 30%, bagian validator ? 240 token, sisanya 560 token dibagi ke semua delegator sesuai porsi stake. Kalau porsi kamu 20% dari total delegasi di validator tersebut, bagian kamu ? 112 token/tahun (sebelum efek compounding ke APY dan fluktuasi harga token).
Insight penting: komisi tinggi (mendekati 30%) bisa masuk akal jika validator memberi nilai tambah—uptime tinggi, slashing risk rendah, dan tooling pelaporan yang rapi.
2) Yield Farming & Vault Otomatis
Di DeFi, strategi auto-compounding vault sering mengenakan performance fee (mis. 30%) atas yield yang dihasilkan. Modelnya mirip 70:30 70% yield neto untuk depositor, 30% untuk pengelola strategi/DAO sebagai insentif riset, eksekusi transaksi, dan biaya operasional.
Ilustrasi: Deposit $5.000 di vault dengan 20% APR setahun (estimasi kotor $1.000). Jika performance fee 30%, sekitar $300 ke penyedia strategi, $700 untuk kamu. Pada praktiknya, auto-compound meningkatkan APY, tapi tetap dipotong fee saat harvesting. Perlu kamu hitung juga gas fee, slippage, dan risiko kontrak.
3) Liquidity Pool (AMM/DEX)
Setiap swap di AMM menghasilkan trading fee. Banyak protokol memecah fee menjadi porsi untuk LP (liquidity provider) dan protocol treasury. Beberapa desain menggunakan semangat 70:30 misalnya 70% dari fee ke LP, 30% ke protokol untuk pendanaan pengembangan.
Ilustrasi: Misal total volume harian pool $10 juta dengan fee 0,3% ? total fee $30.000/hari. Jika skema 70:30 dipakai, $21.000/hari ke LP, $9.000/hari ke treasury.
Kalau likuiditas kamu 1% dari pool, estimasi pendapatan kotor kamu $210/hari (sebelum memperhitungkan impermanent loss dan pergerakan harga). Insight: di market volatile, impermanent loss bisa menggerus fee; jadi jangan cuma lihat porsi 70%, tetapi juga volatilitas pasangan aset.
4) Royalti NFT di Pasar Sekunder
Marketplace NFT historisnya mengambil fee/royalti dari penjualan sekunder, lalu membaginya antara creator dan marketplace. Beberapa skema menggunakan prinsip 70:30.
Ilustrasi: Penjualan sekunder 2 ETH dengan royalti 10% ? 0,2 ETH biaya royalti. Jika diterapkan 70:30, 0,14 ETH untuk creator, 0,06 ETH untuk marketplace. Catatan: kebijakan royalti makin variatif (bahkan opsional) sehingga penting membaca ketentuan tiap pasar.
5) Revenue-Sharing Token & RWA
Di proyek revenue-sharing atau real-world assets (RWA), arus kas operasional kadang dibagi: misalnya 70% ke pemegang token/LP lewat buyback/dividen on-chain, 30% ke treasury/operasional. Skema ini menyeimbangkan insentif investor dan kelangsungan protokol. Tetap ingat, kebijakan bisa berubah lewat governance/DAO voting.
6) Mining & Infrastruktur (Model Kemitraan)
Walau mining pool umumnya mengenakan fee kecil (1–3%), model kemitraan hosting kadang memakai 70:30 untuk membagi hasil bersih: 70% untuk pemilik perangkat, 30% untuk operator yang menanggung listrik, pendinginan, dan pemeliharaan. Ini relevan untuk kesepakatan B2B yang tak standar.
Benang merahnya: istilahnya bisa berbeda—commission, performance fee, protocol fee, royalty, treasury allocation—tapi pola insentif 70:30 muncul berulang karena sederhana, intuitif, dan mudah dieksekusi di smart contract.
Mengetahui variasi implementasi di atas akan memudahkan kamu menilai kesesuaian risiko–imbal hasil. Setelah paham praktik lapangannya, kita bisa melihat perbedaan karakter antara model bagi hasil di bisnis konvensional dan di blockchain pada tabel berikut.
Perbandingan Bagi Hasil: Bisnis vs Blockchain
Aspek | Bisnis Konvensional | Blockchain & Kripto |
Transparansi | Bergantung laporan manual | Semua transaksi tercatat on-chain |
Eksekusi | Perjanjian dan tanda tangan | Otomatis lewat smart contract |
Risiko | Manipulasi laporan, moral hazard | Bug smart contract, rug pull |
Fleksibilitas | Negosiasi sesuai kesepakatan awal | Bisa diprogram sesuai kode |
Auditabilitas | Sulit diaudit pihak luar | Siapa pun bisa cek di blockchain |
Perbandingan ini menunjukkan bagaimana blockchain membawa transparansi yang sebelumnya sulit dicapai di bisnis konvensional. Namun, tentu saja ada risiko baru yang khas di dunia digital.
Risiko yang Perlu Diperhatikan
Setiap sistem pasti ada risikonya. Dalam bisnis tradisional, tantangan ada di transparansi laporan keuangan atau ketidakjujuran pengelola. Sementara di blockchain, risikonya lebih teknis: bug pada smart contract, tokenomics yang tidak berkelanjutan, atau bahkan proyek abal-abal yang melakukan rug pull.
Jadi, meski blockchain memberi rasa aman lebih dalam hal transparansi, pengguna tetap harus hati-hati. Jangan hanya terbuai janji otomatisasi, tapi pastikan juga memilih platform dengan reputasi dan audit yang jelas.
Tips Agar Bagi Hasil Adil dan Aman
Kalau kamu terlibat di bisnis konvensional, selalu pastikan ada kontrak tertulis yang jelas mendefinisikan dasar pembagian. Sementara di kripto, lakukan due diligence sebelum menaruh aset di staking atau liquidity pool. Periksa apakah smart contract sudah diaudit, cek reputasi tim pengembang, dan pahami mekanisme fee.
Intinya, jangan hanya lihat angka 70:30, tapi juga peran, risiko, dan nilai tambah dari masing-masing pihak. Dengan begitu, sistem ini bisa jadi win-win, bukan jebakan.
Penutup: Konsep Lama, Teknologi Baru
Sistem bagi hasil 70:30 membuktikan bahwa ide sederhana bisa bertahan lintas generasi dan teknologi. Dari sawah, ke bisnis modern, hingga blockchain, prinsipnya sama: kerja sama yang adil menciptakan keberlanjutan. Bedanya, blockchain memberi lapisan transparansi dan otomatisasi yang membuat konsep ini lebih efisien.
Kalau dulu kamu mengenalnya di cerita panen padi, kini kamu bisa menemukannya di staking, liquidity pool, bahkan NFT. Dunia lama dan teknologi baru bertemu dalam satu benang merah: berbagi hasil dengan adil.
Itulah informasi menarik tentang cara menghitung bagi hasil 70:30 yang bisa kamu eksplorasi lebih dalam di artikel Akademi crypto di INDODAX. Selain memperluas wawasan investasi, kamu juga bisa terus update dengan berita crypto terkini dan pantau langsung pergerakan harga aset digital di INDODAX Market.
Untuk pengalaman trading yang lebih personal, jelajahi juga layanan OTC trading kami di INDODAX. Jangan lupa aktifkan notifikasi agar kamu selalu mendapatkan informasi terkini seputar aset digital, teknologi blockchain, dan berbagai peluang trading lainnya hanya di INDODAX Academy.
Kamu juga dapat mengikuti berita terbaru kami melalui Google News untuk akses informasi yang lebih cepat dan terpercaya. Untuk pengalaman trading yang mudah dan aman, download aplikasi crypto terbaik dari INDODAX di App Store atau Google Play Store.
Maksimalkan juga aset kripto kamu dengan fitur INDODAX Earn,, cara praktis untuk mendapatkan penghasilan pasif dari aset yang kamu simpan. Segera register di INDODAX dan lakukan KYC dengan mudah untuk mulai trading crypto lebih aman, nyaman, dan terpercaya!
Ikuti juga sosial media kami di sini: Instagram, X, Youtube & Telegram
FAQ
- Bagaimana cara menghitung bagi hasil 70:30?
Hitung keuntungan bersih, lalu bagi 70% untuk pihak pertama dan 30% untuk pihak kedua. - Apakah sistem bagi hasil 70:30 sesuai syariah?
Bisa, asalkan disepakati di awal, adil, dan transparan. - Apakah sistem ini ada di kripto?
Ya, contohnya di staking, liquidity pool, NFT royalty, dan mining pool. - Lebih baik 70:30 atau 50:50?
Tergantung kontribusi modal, tenaga, dan risiko masing-masing pihak. - Apa risiko bagi hasil di blockchain?
Bug smart contract, manipulasi tokenomics, atau rug pull dari developer.
Author: AL